PREDIKSI MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA - keNUAn


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Masa depan bangsa Indonesia  sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Bangsa Indonesia dengan mayoritas penduduk memeluk agama Islam mencapai persentase 88,22% jiwa dari seleruh rakyat Indonesia pada sesuai dengan pencatatan sensus penduduk tahun 2000.
Dua sayap besar umat islam Indonesia yaitu jam’iyah NU dan Muhammadiyah, sudah sejak awal bekerja keras mengembangkan sebuah islam yang ramah terhadap segenap lapisan elemen masyarakat. Namun bencana akan datang kapan saja ketika pemeluk agama kehilangan daya nalar dan menghakimi siapa saja yang tidak sefaham dengannya. Bahkan darah pun sudah banyak tertumpah akibat hal ini karena perbedaan penafsiran agama dan idiologi.
Maka dari itu makalah kami akan sedikit banyak memaparkan beberapa gambaran islam di masa depan, kususnya di Indonesia ini dan beberapa ancaman pembentukan sistem khilafah yang dipelopori para oknum fundamentalis (musuh di dalam selimut).
Namun tentunya makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, sehingga masih banayak mengharap revisi dan penambahan dari bapak dosen dan rekan-rekan mahasiswa. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan dalam  menambah wawasan dan referensi mata kuliah ke-NU-an ini. Amin
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan Gus Dur dalam memprediksi masa depan islam di Indonesia?
2.      Siapa yang dimaksudkan dengan musuh islam dalam selimut menurut pandangan Gus Dur dalam bukunya Ilusi Negara Islam?

C.      Tujuan
  1. Mengetahui prediksi masa depan islam di Indonesia.
  2. Mengetahui siapa yang dimaksud dengan musuh dalam selimut pada buku Gus dur dalam bukunya Ilusi Negara Islan.

D.      Manfaat
Dengan disajikannya makalah ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan pandangan  Gus  Dur dalam memprediksi masa depan Islam di Indonesia dan mengetahui musuh dalam selimut dalam bukunya Ilusi Negara Islam. Dan menjaga mahasiswa dari ultimatum oknum ekstrim baik fundamentalis, radikal, liberal, komunis dan lain-lain.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prediksi Gus Dur Tentang Islam Masa Depan Di Indonesia.
Islam Indonesia yang di gagas Gus Dur adalah Islam yang toleran dan berpikiran luas terhadap agama lain. Oleh sebab itu umat islam harus merubah pertahanan, pemahaman terhadap QS. Al-Baqoroh : 120, Orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti Agama mreka.
Pertama, harus di jelaskan dari aspek mana hak-hak orang di bedakan. Dari sudut akidah, orang muslim berbeda di atas hak non-muslim. Tetapi di Indonesia bukan Negara islam, tapi demokrasi. Undang-undang Negara kita menempatkan semua warga Negara dalam posisi setara, sedrajat, tidak ada diskriminasi antara muslim dan non-muslim dalam undang-undang, semua warga Negara berkedudukan sama.
Kedua, menurut Gus Dur, ayat di atas sebenarnya menunjukkan hubungan Nabi Muhammad dengan dua klompok di atas (yahudi dan nasrani) pada masa beliau. Pada masa Nabi, kelompok ini memang daalam posisi yang bersebrangan dengan umat islam. Bahkan peperangan dalam islam tidak lepaas dari non-muslim yang musuhi dan tidak membiarkan agama islam berkembang dengan pesat. Non-muslim berusaha menjegal, bahkan dengan perang perkembangan Islam. Dalam kontek seperti jaman Nabi tersebut, ayat di atas sangat relevan.
Ke tiga, lanjut Gus Dur, perkembangan pemikiran agama lain harus di perhatikan dan di jadikan pertimbangan utama. Saat ini, pemeluk agama lain sedang merumuskan kembali pola hubungan dengan kaum Muslim. Konsili vatikan II tahun 1964 menghasilkan putusan yang sangat fundamental. Yaitu greja mengakui hak setiap orang untuk mencari kebenaran menurut secara masing-masing, meskipun sanyangnya masih ditegaskan bahwa kebenaran terakhir hanya bias dicapai melalui greja Katholik Roma. Perkembangan ini menunjukan sikap keterbukaan toleransi mreka. Kalau umat islam masih ekslusiv dan tidak tolern, maka umat ini menurut Gus Dur bias di anggap berpikiran dan berpandangan sempit. Image negatif ini harus dihindari sedini mungkin oleh umat Islam dengan panddangan yang maju dan terbuka dengan tidak mengorbnkan prinsip dan akidah Agama.
1.      Pribumisasi Islam.
Pribumisasi islam ala Gus Dur ini menjadi berita paling heboh dengan kasus sederhana. Gus Dur menganti ocaoooacoao uoaoiuisoau assalamu’alaikum dengan selamat pagi, selamat sore, selamat malam. Keheboan ini dimulai saat Gus Dur diwawan carai wartawan ‘Amanah’ selama lima jam dalam bulan puasa. Dalam penyajiannya, hasil wawan cara itu di potong, karena terlalu panjan. Namun pemotongannya justru pada bagian paling penting. Menurut Gus Dur, secara budaya, asalamu’alaikum bias dig anti dengan budaya, karena maksud assalamu’alaikum hanyalah sekedar ucapan berbaik-baik jika ketemu orang. Tetapi jangan lupa, didalamnya ada dua hal yang mencakup norma. Pertama, memulai salam tidak wajib, tapi menjawaabnya wajib. Karena itu, ucapan ketika menjawab tidak bias digantikan dengan ucapan lain selain yang telah di tetapkan. Kedua, ucapan salam merupakan bagian tak terpisah dari salat.
Menurut Gus Dur, agama dan budaya harus ditemukan titik temunya. Gus Dur mengambil contoh tentang arsitektur mesjid di Indonesia kuno yang selalu mempunyai atap tiga lapis yang menggambarkan iman, islam, dan ihsan. Tiga lapisnya sendiri sebenarnya diambil oper dari simbolisasi (perlambangan) dari masa Hindu- Budha, yaitu lapis Sembilan yang menggabarkan Sembilan lingkaran hidup manusia (reinkarnasi). Kemudian wali songo menyisakan tiga lapis saja dan disertai dengan penggantian maknanya. Artinya wali songo mengambil budayanya saja, tetapi member isi lain, yaitu iman, islam, dan ihsan. Wali songo telah membuat penyesuaian pelan-pelan, dan tidak langsung membuat Sesutu yang sama sekali baru.
Contoh lain dari keberhasilan wali songo dalam mempertemukan agama dengan budaya adalaah dalam proses internalisasi lima jenis kemaksiatan (molimo, madon, madad, maling, mabuk, mateni) dengan memakai bahasa budaya, yaitu orak elok, saaru ( tidak baik, tidak etis), bukan dengan bahasa hokum, yakni haram yang menyeramkan bagi masyarakat yang awam masalah agama.
2.      Sekularisasi Agama.
Gus Dur dalam banyak kesempatan mengataakan, bahwa Indonesia harus menentukn sikap menjadi Negara sekuler atau Negara theokrasi. Ia juga memetahkan, perihal tiga kelompok politik di Indonesia. Pertamaa, menginginkan keterlibatan militer dalam kehidupan politik. Kelompok kedua, menghendaki dominasi agama dalam kehidupaan bernegara. Dan kelompok ketiga, menginginkan adanya pemisahan peran agama dengan agama. Diantara tiga kelompok ini, Gus Dur menyatakan diri sebagai pendukung kelompok yang menghendaki sebuah bentuk Negara sekuler bagi Indonesia, dimana agama menjadi inspirasi dan menjadi motifasi moral bagi masyarakatnya.
3.      Demokrasi
Gus Dur terkenal sebagai pejuang demokrasi. Bahkan Gus Dur mendirikan fordem (forum demokrasi) bersama aktivis dan cendekiawan lain. Fordem di maksudkan sebagai wujud keprihatinan untuk member wadah bagi pencarian jalan keluar dari keprihatinan terhadap pemerintah otoriter pada waktu itu. Gus Dur yakin , bahwa prikehidupan yang utuh hanya dapat tercapaidan  tumbuh dalam suasana demokratis sebaliknya, justrun yang berkembang adalah sikap-sikap curiga mencurigai, sikap mementingkan diri golongan atau kelompok sendiri, serta meninggalkan norma-norma dan acuan umum. Untuk kemudian menggunakan nilai-nilai masing-masing dalam mengukur segalanya. Akibatnya, visi kebersamaan dan persamaan terkorbankan sebelum ide itu sendiri terwujud. Demokrasi tidak pernah memuaskan. Kerelaan untuk menerima kenyataan itu justru membangkitkan tekat untuk selalu mengusahakan perbaikan terus menerus, agar menghampiri kesempurnaan, sekaligus menjaga agar tidak terjadi pemerosotan dan kemacetan apalagi penyimpangan dan ketimpanan yang tidak perlu. Penghayatan bahwa demokrasi adalah ssuatu proses, yakni proses yang ajak dan tidak henti-hentinya mengilhami Gus Dur daan teman-temannya mendirikan forum demokrasi.[1]
B.     Pandangan Gus Dur Musuh Dalam Slimut
Di Indonesia modern pun kita menyaksikan kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah) ini —antara lain— dalam proses kelahiran dan tumbuhnya kesadaran kebangsaan kita, khususnya dalam dialog antara Islam dan nasionalisme Indonesia. Memang tidak banyak yang tahu salah satu penggalan sejarah konseptual kebangsaan kita. Sejak tahun 1919, tiga sepupu secara intensif mulai membicarakan hubungan antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme. Mereka adalah H. O. S. Tjokroaminoto, KH. Hasjim Asy'ari, dan KH. Wahab Chasbullah. Belakangan, menantu Tjokroaminoto, Soekarno yang ketika itu baru berusia 18 tahun, terlibat aktif dalam pertemuan mingguan yang berlangsung bertahun-tahun tersebut. Kesadaran kebangsaan inilah yang diwarisi oleh generasi berikutnya, seperti Abdul Wahid Hasjim (putra KH. Hasjim Asy'ari), KH. A. Kahar Muzakkir dari Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo Sugito (tokoh Ahmadiyah).
Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam melainkan mendorong umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami dan sekaligus membolehkan pendirian Negara Bangsa. Sepuluh tahun kemudian, tokoh-tokoh Muslim Nusantara yang terlibat dalam proses kemerdekaan menerima konsep Negara Pancasila yang disampaikan Soekarno, dan kebanyakan pemimpin organisasi-organisasi Islam ketika itu menerima gagasan Soekarno tersebut. Berdasarkan konsep kebangsaan yang kental dengan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa inilah, pada tanggal 17 Agustus 1945 —atas nama bangsa Indonesia— Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebuah negara bangsa yang mengakui dan melindungi keragaman budaya, tradisi, dan keagamaan yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Gagasan negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengalaman sejarah Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara yang pernah melahirkan dan mengalami peradaban-peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam selama masa kerajaan Sriwijaya, Sailendra, Mataram I, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Aceh, Makasar, Goa, Mataram II, dan lain-lain telah memperkuat kesadaran tentang siginifikansi melestarikan kekayaan dan keragaman budaya dan tradisi bangsa. Sementara pada sisi yang lain, dialog terus-menerus antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya, dengan tepat mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.
Dengan segenap hubungan fluktuatif yang terjadi, semua ini bukanlah sebuah proses yang mudah, ini merupakan fakta historis yang harus kita sadari dan pahami. Beberapa periode sejarah Nusantara berlumur darah akibat konflik yang terjadi —antara lain— atas nama agama. Para ulama seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting Pendiri Bangsa lainnya, sadar bahwa negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan negara bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Para Pendiri Bangsa sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqashid al-syari’ah, yaitu kemaslahatan umum (al-mashlahat al-'ammah, the common good). Dengan kesadaran demikian mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan cara demikian, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil 'alamin) dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal Pancasila ini, setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan duniawi, dan setiap orang bebas beribadah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi tanpa mengabaikan yang pertama.
Memang ada relasi fluktuatif antara agama (c.q. Islam) dengan nasionalisme (c.q. Pancasila). Ada kelompok yang ingin mendirikan negara Islam melalui konstitusi (misalnya dalam Majlis Konstituante) dan lainnya melalui kekuatan senjata (seperti dalam kasus DI/TII). Namun selalu ada mayoritas bangsa Indonesia (Muslim dan non-Muslim) yang setuju dengan Pancasila dan memperjuangkan gagasan para Pendiri Bangsa. Semua ini menjadi pelajaran sangat berharga bagi kesadaran tentang pentingnya bangunan Negara Bangsa. Sikap ormas-ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah misalnya, maupun parpol-parpol berhaluan kebangsaan yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final dan konsensus nasional bangunan kebangsaan kita, bukanlah sikap oportunisme politik melainkan kesadaran sejati yang didasarkan pada realitas historis, budaya, dan tradisi bangsa kita sendiri serta substansi ajaran agama yang kita yakini kebenarannya.
Sikap nasionalis ini juga merupakan suatu bentuk tanggung jawab untuk menjamin masa depan bangsa agar tetap berjalan sesuai dengan budaya dan tradisi Nusantara, dan sesuai pula dengan nilai-nilai substantif ajaran agama yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Sikap para tokoh nasionalis-religius yang berjuang mempertahankan bangunan kebangsaan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini bisa disebut sebagai kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah), pribadi-pribadi yang terus berusaha untuk memberi manfaat sebanyak mungkin kepada siapa pun tanpa mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada. Dan dengan cara demikian mereka berjuang keras mewujudkan kasih-sayang (rahmat) bagi semua makhluk.
Sikap serupa tidak tampak pada beberapa ormas maupun parpol yang bermunculan menjelang dan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Mereka mengingatkan kita pada gerakan Darul Islam (DI), karena seperti DI, mereka juga berusaha mengubah negara bangsa menjadi Negara Agama, mengganti ideologi negara Pancasila dengan Islam versi mereka, atau bahkan menghilangkan NKRI dan menggantinya dengan Khilafah Islamiyah.
Tentang klaim-klaim implisit para aktivis garis keras bahwa mereka sepenuhnya memahami maksud kitab suci, dan karena itu mereka berhak menjadi wakil Allah (khalifat Allah) dan menguasai dunia ini untuk memaksa siapa pun mengikuti pemahaman ‘sempurna’ mereka, sama sekali tidak bisa diterima baik secara teologis maupun politis. Mereka benar bahwa kekuasan hanya milik Allah swt. (la hukm illa li Allah), tetapi tak seorang pun yang sepenuhnya memahami kekuasaan Allah swt. Karena itu Nabi bersabda, "Kalian tidak tahu apa sebenarnya hukum Allah." Ringkasnya, sekalipun didasarkan pada al-Qur'an dan sunnah, fiqh —yang lazim digunakan sebagai justifikasi teologis kekuasaan oleh mereka— sebenarnya adalah hasil usaha manusia yang terikat dengan tempat, waktu, dan kemampuan penulis fiqh yang bersangkutan.
Tidak sadar atau mengabaikan prinsip-prinsip ini, para aktivis garis keras berjuang mengubah Islam dari agama menjadi ideologi. Pada gilirannya, Islam menjadi dalih dan senjata politik untuk mendiskreditkan dan menyerang siapa pun yang pandangan politik dan pemahaman keagamaannya berbeda dari mereka. Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangat ampuh, karena siapa pun yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam. Padahal jelas tidak demikian.
Pada saat yang sama, dengan dalih memperjuangkan dan membela Islam, mereka berusaha keras menolak budaya dan tradisi yang selama ini telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia, mereka ingin menggantinya dengan budaya dan tradisi asing dari Timur Tengah, terutama kebiasaan Wahabi-Ikhwanul Muslimin, semata karena mereka tidak mampu membedakan agama dari kultur tempat Islam diwahyukan. Mereka selalu bersikap keras dan tak kenal kompromi seolah-olah dalam Islam tidak ada perintah ishlah, yang ada hanya paksaan dan kekerasan. Karena sikap seperti itu maka mereka populer disebut sebagai kelompok garis keras.
Kita harus sadar bahwa jika Islam diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik. Pemahaman apa pun yang berbeda, apalagi bertentangan dengan pemahaman mereka, dengan mudah akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri, karena watak dasar tafsir ideologi memang bersifat menguasai dan menyeragamkan. Dalam bingkai inilah aksi-aksi pangkafiran maupun pemurtadan sering dan mudah dituduhkan terhadap orang atau pihak lain. Perubahan ini dengan jelas mereduksi, mengamputasi, dan mengebiri pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh dengan kasih sayang dan toleran menjadi seperangkat batasan ideologis yang sempit dan kaku.
Kelompok-kelompok garis keras berusaha merebut simpati umat Islam dengan jargon memperjuangkan dan membela Islam, dengan dalih tarbiyah dan dakwah amar ma'ruf nahy munkar. Jargon ini sering memperdaya banyak orang, bahkan mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun, semata karena tidak terbiasa berpikir tentang spiritualitas dan esensi ajaran Islam. Mereka mudah terpancing, terpesona dan tertarik dengan simbol-simbol keagamaan.
Sementara kelompok-kelompok garis keras sendiri memahami Islam tanpa mengerti substansi ajaran Islam sebagaimana dipahami oleh para wali, ulama, dan Pendiri Bangsa. Pemahaman mereka tentang Islam yang telah dibingkai oleh batasan-batasan ideologis dan platform politiknya tidak mampu melihat, apalagi memahami, kebenaran yang tidak sesuai dengan batasan-batasan ideologis, tafsir harfiah, atau platform politik mereka. Karena terbatasnya kemampuan memahami inilah maka mereka mudah menuduh kelompok lain yang berbeda dari mereka atau tidak mendukung agenda mereka sebagai kafir atau murtad.
Kami sudah sering dituduh kafir dan murtad, tetapi kami tetap tenang-tenang saja. Kelompok-kelompok garis keras mengukur kebenaran pemahaman agama secara ideologis dan politis, sementara kami mendasarkan pemahaman dan praktik keagamaan kami pada semangat rahmat dan spiritual yang terbuka. Kami berpedoman pada paham Ahlussunnah wal jamaah, sementara mereka mewarisi kebiasaan ekstrem Khawarij yang gemar mengkafirkan dan memurtadkan siapa pun yang berbeda dari mereka, kebiasaan buruk yang dipelihara oleh Wahabi dan kaki tangannya.
Gerakan garis keras transnasional dan kaki tangannya di Indonesia sebenarnya telah lama melakukan infiltrasi ke Muhammadiyah. Dalam Muktamar Muhammadiyah pada bulan Juli 2005 di Malang, para agen kelompok-kelompok garis keras, termasuk kader-kader PKS dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mendominasi banyak forum dan berhasil memilih beberapa simpatisan gerakan garis keras menjadi ketua PP. Muhammadiyah. Namun demikian, baru setelah Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mudik ke desa Sendang Ayu, Lampung, masalah infiltrasi ini menjadi kontroversi besar dan terbuka sampai tingkat internasional.
Masjid Muhammadiyah di desa kecil Sendang Ayu —yang dulunya damai dan tenang— menjadi ribut karena dimasuki PKS yang membawa isu-isu politik ke dalam masjid, gemar mengkafirkan orang lain, dan menghujat kelompok lain, termasuk Muhammadiyah sendiri. Prof. Munir kemudian memberi penjelasan kepada masyarakat tentang cara Muhammadiyah mengatasi perbedaan pendapat, dan karena itu masyarakat tidak lagi membiarkan orang PKS memberi khotbah di masjid mereka. Dia lalu menuliskan keprihatinannya dalam Suara Muhammadiyah. Artikel ini menyulut diskusi serius tentang infiltrasi garis keras di lingkungan Muhammadiyah yang sudah terjadi di banyak tempat, dengan cara-cara yang halus maupun kasar hingga pemaksaan..
Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan untuk bebas dari segala campur tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang dapat mengganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya" (Konsideran poin 4). "Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa seluruh partai politik di negeri ini, termasuk partai politik yang mengklaim diri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari, serta tidak menghimpitkan diri dengan misi, kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik tersebut" (Keputusan poin 3).
Keputusan ini dapat dipahami, karena pada kenyataannya PKS tidak hanya "menimbulkan masalah dan konflik dengan sesama dan dalam tubuh umat Islam yang lain, termasuk dalam Muhammadiyah," tapi menurut para ahli politik juga merupakan ancaman yang lebih besar dibandingkan Jemaah Islamiyah (JI) terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Menurut seorang ahli politik dan garis keras Indonesia, Sadanand Dhume,
"Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dari JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin.... Bedanya, JI bersifat revolusioner sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang. Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah dan suara demi suara.... Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskan apakah masa depannya akan sama dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain, atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan busana jubah fundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan menentukan masa depan Indonesia."
Salah satu temuan yang sangat mengejutkan para peneliti lapangan adalah fenomena rangkap anggota atau dual membership, terutama antara Muhammadiyah dan garis keras, bahkan tim peneliti lapangan memperkirakan bahwa sampai 75% pemimpin garis keras yang diwawancarai punya ikatan dengan Muhammadiyah.
Selain terhadap Muhammadiyah, penyusupan juga terjadi secara sistematis terhadap NU. Realitas fungsi strategis masjid mendorong kelompok-kelompok garis keras terus berusaha merebut dan menguasai masjid dengan segala cara yang mungkin, termasuk yang tak pernah terpikirkan kecuali oleh penyusup itu sendiri. KH. Mu'adz Thahir, Ketua PCNU Pati, Jawa Tengah, menceritakan tentang kelompok garis keras berhasil masuk ke masjid-masjid NU dengan memberikan cleaning service gratis.
Awalnya, sekelompok anak muda datang membersihkan masjid secara suka rela, demikian berulang-ulang. Tertarik dengan kesungguhan mereka, takmir memberinya kesempatan beradzan, lalu melibatkannya sebagai anggota takmir masjid. Dengan pandai dan cekatan mereka melakukan tugas-tugas itu. Tentu saja karena mereka memang agen yang khusus menyusup untuk mengambil alih masjid. Setelah posisinya semakin kuat, mereka mulai mengundang teman-temannya bergabung dalam struktur takmir, dan akhirnya menentukan siapa yang menjadi imam, khatib, dan mengisi pengajian dan yang tidak boleh. Bahkan, menentukan apa yang boleh dan harus disampaikan, dan apa yang tidak boleh. Secara perlahan tapi pasti, masjid jatuh ke tangan kelompok garis keras sehingga tokoh setempat yang biasa memberi pengajian dan khotbah di masjid tersebut kehilangan kesempatan mengajarkan Islam kepada jamaahnya, bahkan kehilangan masjid dan jamaahnya, kecuali jika bersedia menerima dan mengikuti ideologi keras mereka.
Kasus di Pati ini hanya salah satu dari sejumlah kasus penyerobotan masjid yang sering dilakukan di lingkungan Nahdliyin. Jika kasus ini digambarkan dalam sebuah film, penonton akan berpikir bahwa ini hasil imaginasi sutradara. Tapi sebenarnya ini adalah manifestasi ideologi, dana, dan sistem gerakan Islam transnasional dan kaki tangannya di Indonesia yang terus bergerak untuk menguasai negeri kita. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penyerobot masjid NU adalah kelompok PKS dan HTI.
Setelah menyadari banyak masjid dan jamaahnya diserobot oleh kelompok-kelompok garis keras, NU mulai melakukan konsolidasi dengan menata kembali organisasinya, antara lain, di masjid-masjid. PBNU menyatakan dengan tegas bahwa gerakan Islam transnasional seperti al-Qaidah, Ikhwanul Muslimin (yang di sini direpresentasikan oleh PKS— red.), dan Hizbut Tahrir adalah gerakan politik yang berbahaya karena mengancam paham Ahlussunnah wal Jama'ah, dan berpotensi memecah-belah bangsa. Kemampuan mereka berpura-pura bisa menerima paham dan tradisi NU juga membuat mereka sangat berbahaya karena bisa menyusup kapan saja dan ke mana saja. Sementara terkait dengan isu khilafah yang diperjuangkan HTI, Majlis Bahtsul Masa'il memutuskan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki rujukan teologis, baik di dalam al-Qur'an maupun Hadits.
Walaupun di beberapa tempat NU telah berhasil mengusir kelompok garis keras, namun di banyak tempat upaya penyusupan dan penyerobotan masjid dan jamaah NU terus dilakukan. Secara umum, sebagaimana ditunjukkan penelitian ini, penyusupan garis keras jauh lebih gencar daripada upaya NU untuk mengusirnya. Jika ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin bahwa NU akan kehilangan presentase signifikan jumlah jamaah dan masjid-masjidnya, dan berubah menjadi kurang spiritul dan lebih keras.
Penyusupan garis keras di lingkungan NU, dan kegagalan ormas terbesar dunia ini menghentikan infiltrasinya ke pemerintahan, MUI dan bidang-bidang strategis lain secara umum di negara ini, salah satu sebabnya terjadi karena fenomena "kyai materi" yang tersebar luas. "Kyai-kyai materi" lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada kepentingan jamaah dan jam'iyah NU serta negara. Puluhan juta jamaah NU yang terkonsentrasi di desa-desa dan daerah-daerah tertentu, adalah kelompok pemilih terbesar (the largest single group of voters) di Indonesia. Suara mereka bisa menentukan siapa yang akan terpilih untuk naik ke kursi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur dan Presiden. Realitas ini mendorong banyak parpol tergoda untuk memanipulasi NU dan memanfaatkan hubungan dengan kyai-kyai materi demi kepentingan politik mereka. Karena sifat dasar manusia, ada kyai-kyai yang merindukan amplop atau kedudukan politik kemudian maju untuk menjadi pengurus NU di tingkat cabang, wilayah, atau pusat, sebagai jembatan untuk memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh parpol-parpol dan politisi tertentu.
Pada saat yang sama, banyak kyai-kyai spiritual yang mundur dari arena penuh pamrih dan kepentingan pribadi tersebut dan hanya berbagi ilmu dengan orang-orang yang datang tanpa pamrih untuk mendekati Tuhan, bukan kedudukan. Dengan jumlah anggota sekitar empat puluh juta, NU —bersama Muhammadiyah— betul-betul bisa menjadi soko guru yang mampu untuk tetap menyangga bangunan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, untuk bisa memenuhi amanah tersebut, NU harus melakukan revitalisasi spiritual dan kembali ke nilai-nilai utamanya. Dengan cara demikian, para ulama bisa membimbing yang berkuasa dan tidak membiarkan dirinya diperalat oleh mereka. Nenek moyang kita meyakini hal ini sebagai dharma manusia, dan karena alasan itulah wayang kulit selalu menggambarkan raja-raja bersikap hormat dan tunduk kepada para resi, dan bukan sebaliknya.
Gerakan garis keras terdiri dari kelompok-keompok yang saling mendukung dalam mencapai agenda bersama mereka, baik di luar maupun di dalam institusi pemerintahan negara kita. Ancaman yang sangat jelas adalah usaha mengidentifikasi Islam dengan ideologi Wahabi/Ikhwanul Muslimin serta usaha untuk melenyapkan budaya dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan budaya dan tradisi asing yang bernuansa Wahabi tapi diklaim sebagai budaya dan tradisi Islam. Bagian manapun dari kedua bahaya tersebut, atau keduanya, hanya akan menempatkan bangsa Indonesia di bawah ketiak jaringan ideologi global Wahabi/Ikhwanul Muslimin. Dan yang paling memprihatinkan, sudah ada infiltrasi ke dalam institusi pemerintah yang sedang digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Agen-agen garis keras juga melakukan infiltrasi ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan sudah dibilang, MUI kini telah menjadi bungker dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia. Lembaga semi pemerintah yang didirikan oleh rezim Orde Baru untuk mengontrol umat Islam itu, kini telah berada dalam genggaman garis keras dan berbalik mendikte/mengontrol pemerintah. Maka tidak heran jika fatwa-fatwa yang lahir dari MUI bersifat kontra produktif dan memicu kontroversi, semisal fatwa pengharaman sekularisme, pluralisme, liberalisme dan vonis sesat terhadap kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang telah menyebabkan aksi-aksi kekerasan atas nama Islam.
Berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain yang menghancurkan dan memberangus orang lain yang dinyatakan sesat oleh MUI, dan dukungan pengurus MUI kepada mereka yang melakukan aksi-aksi kekerasan terkait, mengkonfirmasi pernyataan bahwa MUI telah memainkan peran kunci dalam gerakan-gerakan garis keras di Indonesia. Saat ini ada anggota MUI dari Hizbut Tahrir Indonesia, padahal HTI jelas-jelas mencita-citakan khilafah Islamiyah yang secara ideologis bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
Rendahnya perhatian dan keprihatinan terhadap fenomena garis keras tidak hanya mengenai ideologi, gerakan, dan infiltrasi mereka. Arus dana Wahabi yang tidak hanya membiayai terorisme tetapi juga penyebaran ideologi dalam usaha wahabisasi global juga nyaris luput dari perhatian publik. Selama ini, arus dana Wahabi ke Indonesia tidak mendapat perhatian publik secara serius, padahal dari sinilah fenomena infiltrasi paham garis keras memperoleh dukungan dan dorongan yang luar biasa kuat sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan banyak agennya.
Ada orang-orang yang sadar bahwa petrodollar Wahabi yang sangat besar jumlahnya masuk ke Indonesia, namun cukup sulit untuk membuktikannya di lapangan karena pihak yang menerima sangat sensitif atas isu ini dan menolak membicarakannya. Sepertinya, penolakan ini dilakukan karena agen garis keras malu jika diketahui bahwa mereka telah menjual agama, malu jika diketahui mengabdi pada tujuan Wahabi, dan memang untuk menyembunyikan infiltrasi Wahabi/Ikhwanul Muslimin terhadap Islam Indonesia. Pada sisi yang lain, badan negara yang bertanggung jawab mengawasi aliran keluar-masuk dana di Indonesia juga tidak mengumumkan hal tersebut meskipun sebenarnya ada para pejabat dan pihak yang bertanggung jawab atas keamanan negara mengaku sangat prihatin dengan fenomena ini.
Setelah calon PKS menang dalam Pilgub Jawa Barat pada bulan Juli 2008, salah seorang Ketua NU memberitahu peneliti kami bahwa hal tersebut ditandai oleh keberhasilan PKS merebut banyak masjid NU dan para jama'ahnya. Walaupun Ketua NU dimaksud terkejut dengan kejadian tersebut, sebenarnya keberhasilan PKS merebut masjid dan jamaah NU tidak mengherankan. Tentu saja ideologi yang didukung dana asing dengan jumlah yang luar biasa besar dan dipakai secara sistematis bisa menyusup ke mana-mana dan mengalahkan oposisi yang tidak terorganisasi. Atau dengan kata lain yang sering dipakai oleh para ulama, al-haqq bi la nidhamin qad yaghlib al-bdthil bi nidhamin (kebenaran yang tidak terorganisasi bisa dikalahkan kebatilan yang terorganisasi).
Hal ini sangat berbeda dari gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan kaki tangannya di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa, sementara para agen garis keras berteriak bahwa orang asing datang ke Indonesia membawa uang yang banyak untuk menghancurkan Islam... tentu itu benar, karena orang asing itu adalah aktivis gerakan transnasional dari Timur Tengah yang menggunakan petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada.
Dengan balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh beberapa pihak telah dipandang lebih tampak seperti preman berjubah, mereka ingin menunjukkan seolah-olah pandangan ekstrem yang mereka teriakkan dan paksakan memang benar-benar merupakan pesan Islam yang harus diperjuangkan. Padahal, mereka merusak agama Islam dan bertanggung jawab atas banyak kekerasan yang mereka lakukan atas nama Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Dan kita sebagai umat Islam harus menanggung malu atas perbuatan mereka.
Karena itu, alasan utama melawan gerakan garis keras adalah untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah mereka nodai dan sekaligus —pada saat yang sama— untuk menyelamatkan Pancasila dan NKRI. Jika mayoritas moderat melawan kelompok garis keras dengan tegas, kita akan mengembalikan suasana beragama di Indonesia menjadi moderat, dan kelompok garis keras dewasa ini akan gagal lagi seperti semua nenek moyang ideologis mereka di tanah air kita, yang mewakili kehadiran al-nafs al-lawwamah. Kemenangan melawan mereka akan mengembalikan keluhuran ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dan ini merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia.[2]














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut Gus Dur islam di Indonesia adalah islam yang toleran terhadap agama lain. Dari sudut akidah, orang muslim di atas orang-orang non-muslim. Di Indonesia yang jadi landasan adalah Panca Sila, yang menjadi semua landasan agama-agama di Indonesia, dan Indonesia adalah Negara yang demokratis bukan Negara islam, Undang-undang di jadikan penempatan semua warga menjadi setara, dan sedrajat.
para aktivis garis keras berjuang mengubah Islam dari agama menjadi ideologi. Gerakan garis keras terdiri dari kelompok-keompok yang saling mendukung dalam mencapai agenda bersama mereka, baik di luar maupun di dalam institusi pemerintahan negara kita. Berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain yang menghancurkan dan memberangus orang lain yang dinyatakan sesat oleh MUI.
Karena itu, alasan utama melawan gerakan garis keras adalah untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah mereka nodai dan sekaligus —pada saat yang sama— untuk menyelamatkan Pancasila dan NKRI.
B.     Saran
Demikian lah makalah ini yang saya tulis, saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini  masih banyak sekali kekurangannya, untuk itu kritik dan saran yang membangun akan sangat saya butuhkan, dan semoga makalah ini bermanfaat di dunia dan akhirat, Amin.





DAFTAR PUSTAKA

Asmani, jamal ma’mur.2016.Menatap Masa Depan NU.Aswaja pressindo : Sleman-Yogyakarta.

Wahid, Abdurrahman.2009.Ilusi Negara Islam.PT Desantara Utama Media: Jakarta.cet 1



[1] Asmani, jamal ma’mur.2016.Menatap Masa Depan NU.Aswaja pressindo : Sleman-Yogyakarta
[2] Abdurrahman, Wahid.2009.Ilusi Negara Islam.PT Desantara Utama Media: Jakarta.cet 1


Komentar

Postingan populer dari blog ini

tafkhim dan Tarqiq

Makalah KOMPONENE-KOMPONEN HADITS

MAKALAH HEREDITAS dan LINGKUNGAN