Peran NU dari masa kemasa
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nahdlatul Ulama’ yang berarti
(Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam) disingkat NU adalah
sebuah organisasi Islam besar di Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan, politik, ekonomi dan
pendidikan. Keterbelakangan baik secara mental maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi
telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa
ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Peranan NU sangatlah penting dalam
kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Seperti semangat kebangkitan bangsa
Indonesia terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya,
munculah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang
selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut
dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Nahdlatul Fikri
(kebangkitan pemikiran) sebagai wahana pendidikan
sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan
Nahdlatut Tujjar (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama NU
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah peran NU dalam bidang
keagamaan, politik, Ekonomi dan
pendidikan?
2. Bagaimanakah peran NU
pada masa
reformasi?
3. Bagaimanakah Pengertian ukhuwwah
nahdliyyah?
4. Bagaimanakah Ukhuwwah nahdliyyah di bidang
sosial-politik?
5. Bagaimanakah Kendala dan hambatan
dalam
pengembangan wawasan ukhuwwah?
6. Bagaimanakah Pandangan
NU dalam melestarikan ukhuwwah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui peran NU dalam bidang
keagamaan, politik, Ekonomi dan
pendidikan.
2.
Untuk mengetahui peran NU
pada masa
reformasi.
3.
Untuk mengetahui Pengertian
ukhuwwah nahdliyyah.
4.
Untuk
mengetahui Ukhuwwah nahdliyyah di bidang sosial-politik.
5.
Untuk
mengetahui Kendala dan
hambatan dalam
pengembangan wawasan ukhuwwah.
6.
Untuk
mengetahui Pandangan NU dalam melestarikan ukhuwah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peran NU dalam bidang
keagamaan,
politik, Ekonomi dan pendidikan
1.
Bidang Keagamaan
Sejak berdiri
Nahdlatul Ulama menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam
(Jam’iyyah Diniyyah Islamiyah). Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan
mutu pribadi-pribadi muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya
dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya, sehingga terwujudlah peranan
agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat
bagi seluruh alam) sebagaimana firman Allah SWT :
وما أرسلناك إلا
رحمة للعالمين
Artinya : Tidaklah Kami mengutusmu
(Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. Ali Imran 107)
Sebagai
organsasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat
Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan
(ukhuwah), toleransi (tasamuh ),
kebersamaan dan hidup berdampingan antar sesama umat Islam maupun dengan sesama
warga negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama
mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis
Sebagai
organisasi keagamaan, tentunya Naahdlatul Ulama memiliki ciri keagamaan yang
dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain :
a)
Didirikan karena motif keagamaan, tidak karena dorongan politik,
ekonomi atau lainnya.
b)
Berasas keagamaan sehingga segala sikap tingkah laku dan
karakteristik perjuangannya selalu disesuaikan dan diukur dengan norma hukum
dan ajaran agama.
c)
Bercita-cita keagamaan yaitu Izzul Islam wal Muslimin (kejayaan
Islam dan kaum muslimin) menuju Rahmatan lil ‘Alamin (menyebar rahmat bagi
seluruh alam).
d)
Menitikberatkan kegiatannya pada bidang-bidang yang langsung
berhubungan dengan keagamaan, seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, dakwah,
ma’arif, muamalah dan sebagainya.
Ciri keagamaan
tersebut dijabarkan dalam strategi dan wujud kegiatan-kegiatan pokok, dengan
mengutamakan :
a)
Pembinaan pribadi-pribadi muslim supaya mampu menyesuaikan hidup
dan kehidupannya menuju terwujudnya Jama’ah Islamiyah (masyarakat Islam).
b)
Dorongan dan bimbingan kepada umat terutama pada warganya untuk mau
dan mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan rangkaian perjuangan
besar meluhurkan kalimah Allah SWT.
c)
Mengorganisasikan kegiatan-kegiatan tersebut dalam wadah perjuangan
dengan tata kerja dan tata tertib berdasar musyawarah.
2.
Bidang Politik
Menurut KH.
Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman Nahdlatul
Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan.
Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik, terutama
dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena Nahdlatul Ulama
sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Dalam sejarah perjalanan Indonesia, tercatat
bahwa Nahdlatul Ulama selalu memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain dilandasi
oleh nilai-nilai ke-Islam-an, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Nahdlatul
Ulama juga didasari oleh nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme
yang tinggi.
Politik jenis kedua yang dijalankan oleh
Nahdlatul Ulama yaitu politik kerakyatan. Politik kerakyatan bagi Nahdlatul
Ulama sebenarnya adalah perwujudan dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang
ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian
diambil alih oleh generasi muda Nahdlatul Ulama melalui LSM-LSM, ketika melihat
Nahdlatul Ulama secara structural kurang peduli terhadap permasalahan yang
menyangkut kepentingan rakyat kecil.
Nahdlatul Ulama juga menjalankan politik jenis
ketiga, yaitu politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis.
Politik kekuasaan merupakan jenis politik yang paling banyak menarik perhatian
orang Nahdlatul Ulama. Dalam catatan sejarah, terlihat bahwa Nahdlatul Ulama
pernah mendapatkan kesuksesan dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun
1955. Pada saat itu, dalam waktu persiapan yang relative sangat pendek, Partai
Nahdlatul Ulama yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga
setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Disusul pada pemilu pertama
orde baru pada tahun 1971, dimana Partai Nahdlatul Ulama menduduki posisi kedua
setelah Golongan Karya. Sejak saat itu banyak tokoh Nahdatul Ulama yang terjun
ke dunia politik praktis. Hal ini membawa dampak negatif pada aktivitas penting
Nahdlatul Ulama lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan
dakwah yang menjadi terbengkalai.
Menyadari bahwa
Nahdlatul Ulama merupakan satu kesatuan yang integral dari para anggotanya
dengan aneka ragam latar belakang dan aspirasi masing-masing dan demi
mengembangkan budaya politik yang bertanggung jawab, maka Nahdlatul Ulama
memberikan pedoman berpolitik sebagai berikut :
a)
Berpolitik mengandung arti keterlibatan warga Negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
b)
Berpolitik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa
dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.
c)
Berpolitik dengan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki
dan demokratis, menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai
kemaslahatan bersama.
d)
Berpolitik harus dilakukan dengan moral, etika dan budaya sesuai
dengan nilai-nilai sila-sila Pancasila.
e)
Berpolitik harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama.
f)
Berpolitik dilakukan untuk memperkokoh consensus-konsensus nasional
dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam
Ahlussunnah Wal Jama’ah.
g)
Berpolitik dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan
mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan
h)
Perbedaan pandangan harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan
dan saling menghargai.
i)
Berpolitik menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik
dalam pembangunan nasional.
Dengan
berpedoman pada etika politik di atas, menurut Ir. KH. Salahuddin Wahid,
Nahdlatul Ulama dapat mewujudkan peran politik yang ideal dengan selalu
berpegang pada prinsip-prinsip, pertama, memperhatikan kepentingan bangsa dan
negara serta agama, kedua, memperhatikan kepentingan Nahdlatul Ulama, baik
secara jama’ah (komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi), ketiga, orang-orang
Nahdlatul Ulama yang memiliki jabatan dalam structural organisasi Nahdlatul
Ulama tidak masuk ke dalam wilayah politik praktis.
Selanjutnya
dalam merespon perkembangan politik pada
masa reformasi, Nahdlatul Ulama memfasilitasi pendeklarasian sebuah partai
politik. Pendeklarasian partai tersebut bertujuan untuk menyalurkan dan
memproses warga nahdliyin yang ingin berkiprah dalam politik praktis agar
menjadi politisi sejati, yang pada gilirannya menjadi negarawan.
Pada sisi lain,
Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan pada warganya untuk memasuki partai
politik manapun yang diyakininya dapat menjadikan dirinya sebagai politisi
sejati dan negarawan. Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika berpolitik
nahdliyin yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak
kehilangan kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul Ulama.
Dalam
berpolitik Nahdlatul Ulama mengalami beberapa masa, diantaranya sebagai
berikut:
1)
Masa Pertumbuhan ( 1952-1955 )
Beberapa waktu
sebelum keluar dari Masyumi, KH. A. Wahid Hasyim selaku Ketua Muda PBNU telah
banyak melakukan kegiatan prakondisi. Perkembangan politik dalam tubuh Masyumi
senantiasa disampaikan kepada para tokoh NU baik di daerah maupun di pusat.
Maksudnya agar mereka juga ikut menilai, memikirkan dan kemudian menentukan
sikap. Puncak pra-kondisi itu ditandai dengan berkumpulnya tokoh-tokoh NU
se-Jawa dan Madura di kediaman KH. Maksum Khalil, Jagalan-Jombang, awal April
1952. Berbagai persoalan telah dibahas dan akhirnya diputuskan : “ Secara
organisatoris NU memisahkan diri dari Masyumi, dan mengusahakan kepada Masyumi
agar segera mengadakan re-organisasi untuk menjadikan dirinya sebagai badan
federasi. Keputusan ini kemudian dituangkan dalam keputusan PBNU yang terkenal
dengan “Surat Keputusan PBNU tanggal 5/6 April 1952”.[[1]]
Kemudian pada
Muktamar ke-19 di Palembang tanggal 28 April – 1 Mei 1952, keputusan PBNU
tersebut disampaikan dalam Muktamar. Ternyata 61 suara menyetujui, 9 suara
menolak dan 7 suara memisahkan diri dari Masyumi dengan syarat sebagai berikut
:
a)
Pelaksanaan keputusan jangan sampai menimbulkan kegoncangan di
kalangan ummat Islam Indonesia,
b)
Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan melalui perundingan dengan
Masyumi, dan
c)
Keputusan ini dijalankan dalam hubungan luas berkenaan dengan
keinginan membentuk Dewan Pimpinan Ummat Islam Indonesia yang nilainya lebih
tinggi, di mana partai-partai dan organisasi dapat berkumpul dan berjuang
bersama-sama.
Selain itu,
Muktamar juga membentuk panitia yang terdiri dari 7 cabang, 3 di antaranya
cabang yang setuju kepada keputusan PBNU, 3 dari cabang yang kontra (tidak
setuju) dan 1 cabang yang blanko. Panitia ini bersama dengan PBNU akan
menentukan sikap : Apakah NU akan memproklamasikan menjadi partai politik atau
tidak. Dan panitia ini akan bersidang menunggu hasil perundingan NU dengan
Masyumi mengenai sikap tersebut.[[2]]
Ternyata,
Masyumi tidak mau mendengarkan niat baik NU. Dan lahirlah Partai Politik NU
yang disponsori para Kiai.
Masih dalam
Muktamar Palembang NU memutuskan beberapa pokok pikirannya yang erat
hubungannya dengan politik :
a.
Mendesak Pemerintahan RI agar segera mengadakan Pemilihan Umum,
b.
Menyetujui kehendak Pemerintahan RI untuk mengadakan penghematan
dan membasmi pengeluaran yang tidak jujur,
c.
Mendesak kepada Pemerintah agar menggiatkan pendidikan Pancasila
secara teratur dan bersungguh-sungguh, khususnya tentang sila Ketuhanan Yang
Maha Esa yang tampaknya kurang mendapat perhatian.[[3]]
Dengan demikan,
NU sudah membuka lembaran sejarah baru. Jika semula ia hanya menitikberatkan
orientasinya kepada soal-sola social dan keagamaan, maka semenjak Muktamar
Palembang NU menambah orientasi kepada masalah politik. AD-ART pun sudah tidak
bernama jami’iyah lagi, tetapi sudah diubah menjadi AD-ART partai politik NU.
Lapangan usahanya juga semakin membengkak kepada persoalan pertahanan keamanan,
politik luar negeri dan dalam negeri, perburuan dan persoalan social-budaya,
pendidikan dan lain sebagainya. Tentu saja, tujuan untuk menumbuhkan masyarakat
Islamiyah, tidak terlupakan. Meski sudah berubah dan tumbuh menjadi partai
politik, pola organisasi NU masih tetap pola organisasi Jami’iyah diniyah,
yakni menempatkan ulama pada posisi sentral. Dan mengenai keanggotaan pun masih
dpertahankan, yakni harus orang Indonesia yang beragama Islam dan berhaluan
salah satu dari empat madzab.[[4]]
Dari uraian di
atas, bisa dipahami dan diketahui apa dan bagaimana sesungguhnya visi, misi dan
haluan politik NU. Tiada lain, NU ingin menegakkan dan membentuk masyarakat Islamiyah,
menganut paham perdamaian, menginginkan terciptanya Negara Hukum yang
berkedaulatan rakyat. Dan haluan perjuangan politik itu akan tercermin dalam
perilaku politik NU.
Pada masa
pertumbuhan, partai politik NU menghadapi berbagai kesulitan. Pertama,
kekurangan tenaga terampil di bidang politik. Kedua, kesulitan menghadapi lawan
politik, dalam arti pertentangan ideologis dengan PKI dan sekutunya. Di samping
juga harus “melawan” Masyumi dalam pola pemerintahan koalisi, karena
pertentangan harga diri.
Untuk kesulitan
pertama, partai NU segera mengadakan rekrutmen (penambahan anggota tenaga
terampil di bidang politik. Dan tentu saja tenaga terampil harus beragama Islam
dan berhaluan dari empat madzab atau menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah.
Selain itu, tenaga terampil ini harus juga memiliki ketaatan kepada para ulama,
meski ketaatan itu hanya bersifat formal. Seperti tampilnya H. Djamaluddun
Malik yang memprakasai, dan akhirnya NU menyetujui berdirinya Lembaga Seniman
Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), yang bertugas memelihara seni budaya
muslim, dan berperan mencegah berkembangnya seni budaya yang ditangani kelompok
Komunis atau PKI.[[5]]
Selain itu ada
Idham Chalid, yang dikenal sebagai orang yang strategi, kepala dingin, cermat
dan teliti dalam berpolitik, pandai bergaul dan bisa hidup disegala zaman dan
aktif dalam mengambil bagian di dalam partai NU, dan berhasil menduduki posisi
ketua MAa’arif NU pada tahun 1952. Karena potensinya dalam berpolitik sangat
menonjol, pada Muktamar ke-21 di Medan, Desember 1956, ia terpilih sebagai
Ketua Umum PBNU.[[6]]
Ciri khusus
dalam usaha rekrutmen ini adalah tanpa melihat latar belakang social maupun
pendidikannya. Yang penting, tenaga yang diambil mau taat dan patuh kepada
kepemimpinan Syuriyah.
Setelah kesulitan
pertama teratasi. NU segera mengalihkan perhatiannya kepada persoalan
konsolidasi dan penyelamatan eksistensi partai, baik yang ada hubungannya
dengan keanggotaan Parlemen maupun keikutsertaannya di dalam Kabinet. Selain
itu, NU berusaha menggalang persatuan barisan Islam untuk berjuang bersama demi
agama, Negara dan bangsa. Namun, sikap hati-hati dan penuh pertimbangan masih
tercermin dalam segala tingkah laku politik NU di masa pertumbuhannya.
Dengan segala
pertimbangan yang mendalam, setelah NU resmi menjadi partai politik, para
anggota NU yang duduk di Parlemen RI segera mengadakan reaksi politik. Delapan
anggota fraksi Masyumi (dari NU) secara sukarela membentuk fraksi tersendiri,
yakni fraksi NU. Mereka itu adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Ilyas,
Muhammad Saleh Suryaningprojo, Muhammad Ali Prataningkusumo, A. A. Achsin,
Idham Chalid, As. Bamid dan Zainul Arifin (kemudian diganti oleh Saifudin
Zuhri).[[7]]
Pada waktu
ditingalkan oleh KH. A. Wahib Hasbullah, karena beliau berpulang ke Rahmatullah
pada tanggal 19 April 1953, NU tetap gigih mengadakan propaganda demi
kemenangan pemilu 1955. Salah satu contoh kegigihan NU dalam berkampanye adalah
melawan PKI ketika partai komunis hendak menggunakan gambar “palu arit”, dengan
tambahan kalimat “PKI dan orang-orang tak berpartai”. Idham Chalid dari NU yang
bertugas sebagai juru bicara memprotes rencana PKI itu dan berhasil
menggagalkannya.[[8]]
Dan DN. Aidit, Ketua CC PKI, pernah
membujuk agar Idham mau menerima rencana tersebut. Tapi idham tidak menolaknya.
Kerja keras
para pemimpin NU tidaklah sia-sia. Hasil pemilu 1955 menunjukkan, NU berhasil
keluar sebagai empat besar setelah Masyumi dan PNI. NU berhasil mendapatkan
sebanyak 6.955.141 suara. Sehingga jumlah kursi di Parlemen yang semasa
bergabung dengan Masyumi hanya 8 kursi, melonjak menjadi 45 kursi.[[9]]
Keberhasilan NU dalam pemilu ini tentu saja mengubah peta politik
Indonesia . di dalam Parlemen, partai-partai Islam telah menduduki 114 kursi
dari 257 kursi yang telah diperebutkan. Masyumi mendapat 57, NU 45, PSII 8 dan
PERTI 4.[[10]]
Di dlam
Kabinet, dari 25 Menteri yang diperebutkan, 13 diantaranya berhasil diduduki
partai-partai Islam. Masyumi 5 orang Menteri, PSII 2 orang Menteri, PERTI
seorang Menteri dan NU menduduki 5 orang Menteri. Jabatan menteri yang diduduki
oleh NU adalah Wakil Perdana Menteri (KH. Idham Chalid), Menteri Dalam Negeri
(Mr.Sunaryo), Menteri Perekonomian (Mr. Burhanuddin Harahap), Menteri Sosial
(KH. Fattah Yasin),dan Menteri Agama (KH. M. Ilyas).[[11]]
2)
Masa Perjuangan ( 1955-1959 )
Setelah
proklamasi kemerdekaan, hampir semua organisasi Islam sepakat menjadikan
Masyumi sebagai satu-satunya Partai Politik Islam. Organisasi-organisasi Islam
yang pertama kali memperkuat Partai Masyumi adalah : NU, Muhammadiyah,
Perserikatan Ulama Islam, Persatuan Umat Islam dan pada tahun berikutnya
ditambah oleh organisasi-organisasi lain, seperti : Al-Irsyad, Al-Jamiyyah
al-Wasliyah, dan Pesatuan Islam. Untuk menjadi anggota Masyumi dapat dilakukan
dengan dua jalur, yaitu keanggotaan pribadi dan keanggotaan organisasi. Cara
keanggotaan inilah yang tidak disetujui oleh Nahdlatul Ulama karena akan
menyebabkan rapuhnya dukungan terhadap Masyumi sebagai satu-satunya wadah
politik umat Islam kelak di kemudian hari.
Pada tahun 1949
pimpinan partai Masyumi melakukan reorganisasi dengan mengubah fungsi Majelis
Syuro hanya sebagai penasehat. Menanggapi keputusan tersebut, dalam mukhtamar
XVIII NU di Jakarta pada 30 April-3 Mei 1950 diputuskan NU akan keluar dari
Masyumi sambil menunggu sementara waktu untuk memberikan kesempatan partai
Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi-koreksi yang disampaikan NU.
Akhirnya, pada muktamar XIX NU di Palembang pada 1 Mei 1952, secara resmi NU
menyatakan keluar dari partai Masyumi dan menjadikan dirinya sebagai partai
politik. Sejak itu NU memasuki dunia politik secara otonom dan terlibat
langsung dalam persoalan-persoalan kekuasaan Negara. Meskipun demikian, NU
tidak melepaskan karakteristiknya sebagai organisasi keagamaan dengan tetap
mempertahankan struktur kepemimpinan formalnya yang disebut Syuriah dan
Tanfidziyah.
Sebagai partai
politik, sudah tentu NU dituntut untuk mengambil bagian dalam berbagai
aktivitas pemerintahan guna membangun bangsa dan Negara. Pada tahun 1953, NU
masuk dalam cabinet Ali Sastroamijaya dengan menempatkan kader-kadernya, yaitu:
KH. Zainul Arifin (Wakil Perdana Menteri), KH. Masykur (Menteri Agama),
Muhammad Hanafiyah (Menteri Agraria). Begitu juga pada masa cabinet Burhanuddin
Harahap, NU juga ikut didalamnya. Dua orang duduk dalam kementrian, yakni Mr.
Sunaryo (Menteri Dalam Negeri) dan KH. Mohammad Ilyas (Menteri Agama).
Pada Pemilihan
Umum tahun 1955, di luar dugaan NU menempati urutan ketiga dan menjadi empat
partai besar dengan memperoleh 45 kursi di parlemen (DPR RI). Perolehan suara
yang cukup besar itu tidak lepas dari pengaruh para kiai dan pesantren. Umat
Islam yang sebagian besar berada di desa memiliki jalinan emosioanal yang amat
erat dengan para kiai. Mereka sangat patuh kepada kiai, sehingga ketika para
kiai memberikan dukungannya kepada NU, mereka pun ikut mendukungnya.
Setelah dalam
pemilu 1955 berhasil keluar sebagai partai besar, pasca pemilu 1955 NU
menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perjuangan yang ulet dan
militant. Sebab kabinet yang disusun berdasarkan hasil pemilu yang dikenal
dengan Kabinet Ali Sastroamiidjojo II atau Kabinet Ali-Roem-Idham- kabinet
koalisi partai PNI-Masyumi-NU telah mendapat tantangan yang berat dari presiden
Soekarno. Presiden Soekarno secara terang-terangan menyatakan keinginannya agar
diikutsertakan dalam Kabinet. Alasannya karena PKI juga berhasil menjadi salah
satu dari empat partai besar. Tetapi baik PNI, NU, maupun Masyumi tidak
menginginkan keikutsertaan PKI dalam Kabinet. Pembelaan Soekarno kepada PKI,
secara politis menguntungkan PKI dalam pertumbuhan politik di Indonesia
selanjutnya, dan presiden Soekarno sudah melibatkan diri ke dalam kancah
politik dan langsung menyaingi Parlemen. Dengan konsep “Demokrasi Terpimpin”,
presiden Soekarno mengecam system “Demokrasi Liberal”, karena system banyak
partai yang tidak pernah membangun sebuah pemerintahan yang kuat, yang
dibutuhkan Indonesia guna membangun dirinya.
Ketika
demontrasi terpimpin dicanangkan. NU menerima dengan catatan agar tetap
menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan atas dasar musyawarah dan mufakat.
Demikian juga ketika presiden Sukarno akan menerapkan Nasakom (Nasional, Agama,
dan Komunis). Sikap politik NU ini didasari oleh sebuah prinsip bahwa “dar’u
mafaasid muqaddamun ala jalbil mashalih” ( menghindarkan kerusakan lebih
diutamakan dari pada mengambil manfaat). Adapun madlarat lebih besar itu berupa
:
1)
Tempat disediakan bagi NU dapat diduduki anasir lain yang
membahayakan.
2)
Kedudukan partai NU sebagai oposisi yang belum disiapkan, akan bisa
merupakan suatu bencana yang tidak diharapkan.
Dengan prinsip
ini NU mampu menempatkan dirinya dalam keadaan apa dan bagaimana langkah yang
harus dilakukannya. Setiap tindakan harus diperhitungkan manfaat dan
madlaratnya dengan mempertimbangkan keselamatan agama, bangsa dan Negara.
Agaknya inilah
masa yang paling kritis, tetapi sekaligus menunjukkan puncak prestasi NU di
percaturan politik Indonesia. Di satu sisi NU berada dalam Nasakom, tetapi di
pihak lain harus mengembangkan perlawanannya terhadap komunisme.
Keadaan semakin
bahaya setelah dibubarkannya Kabinet Ali-Roem-Idham dalam bulan Maret 1957,
praktis peranan Parlemen dan partai-partai politik menjadi merosot. Pusat
kekuasaan yang biasanya berada di Parlemen beralih kepada Presiden Soekarno.
Dengan segera presiden mengumumkan gagasannya membentuk Dewan Nasional dan
membubarkan partai-partai, dengan menerapkan demokrasi terpimpin, memasukkan
golongan fungsionilke dalam Parlemen. Langkah pertama yang dilakukan Presiden
Soekarno adalah membentuk Kabinet baru. Untuk menghadapi situasi politik
seperti itu, NU masih sempat mencoba
mengadakan Sidang Pleno NU bersama konsul-konsul NU se-Indonesia pada
tanggal 9-10 Maret 1957, yang khusus membicarakan gagasan dari presiden
Soekarno yang ingin membentuk Dewan Nasional, pada intinya, akan menyetujui
dengan syarat Dewan Nasional hanya bersifat sebagai penasehat dan tidak
mempunyai akibar politis, dan pembentukannya diselesaikan oleh Kabinet bersama
Kepala Negara.
Kemauan
Presiden Soekarno segera terwujud pada 9 April 1957. Kabinet ini bernama
“Kabinet Karya” dengan Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri, Mr. Hardi, Idham
Chaliddan Leimena masing-masing menjadi wakil Perdana Menteri I, II, III. Dari
partai NU juga ditunjuk KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama, Mr. Sunaryo sebagai
Menteri Agraria, Prof. Drs. Sunaryo sebagai Menteri Perdagangan.
3)
Masa Pergolakan ( 1959-1968 )
Setelah dekrit
Presiden 5 Juli 1959, pimpinan pemerintah dan Angkatan Bersenjata diletakkan di
tangan Presiden.[[12]]
Kekuasaan semakin berpusat ke Istana Negara, ke tangan Presiden Soekarno,
fungsi departemen semakin berkurang, khususnya Departemen Hankam (Pertahanan
dan Keamanan). Otonomi Presiden Soekarno semakin mekar dan bahkan menjadi
ukuran kehidupan politik dimasa itu. Organisasi sosial poitik menjadi lumpuh tidak berdaya. Suhu politik
semakin memanas dan sia-sia demokrasi yang paling penghabisan pun lenyap
tertelan gelombang Demokrasi terpimpinya presiden Soekarno.[[13]]
Tindakan-tindakan
inkonstitusional semakin gencar dilakukan presiden. Antara lain, MPR hasil
pemilihan rakyat dibubarkan dan diganti MPRS yang diatur oleh Penetapan Prsiden
(Penpres) No.2 tahun 1959 tanggal 22 Juli 1959. Anggota MPRS diangkat dan
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pimpinan pemerintah dan Angkatan
Bersenjata diletakkan di tengah presiden. Bahkan demi kesatuan komando - sesuai
dengan prinsip Demokrasi Terpimpin pimpinan rakyat perlu diserahkan secara
formal pula kepada Presiden. Pimpinan rakyat itu pun diwujudkan dengan
membentuk organisasi massa yang dipimpin lagsung oleh Presiden. Dengan demikian,
kekuasaan semakin berpusat ke Istana Ngara, keangan Presiden Soekarno, fungsi
diberhentikan oleh presiden sendiri.
Selanjutnya,
pidato kenegaraan 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”,
oleh DPAS ditetapkan sebagai Garis-Garis
besar Haluan Negara (GBHN). Dan untuk memberangus system banyak partai,
dikeluarkan Penpres No. 7 tahun 1959 tentang penyederhanaan kepartaian. Masyumi
dan PSI terkena Penpres ini. DPR hasil pilihan rakyat dibubarkan dan diganti
DPR-GR yang diatur melalui Penpres No. 4 tahun 1960, ketika di Bandung
dilangsungkan Kongres Pemuda Indonesia, pidato presiden di depan Kongres yang
terkenal dengan istilah USDEK, oleh DPAS dianggap sebagai bagaian tidak
terpisahkan dari MANIPOL. Maka jadilah MANIPOL-USDEK.[[14]]
Ide Presiden
Soekarno paling penting adalah mempersatukan bangsa Indonesia ke dalam NASKOM
(Nasionalisme-Agama-Komunisme). Ide ini terlihat jelas pada amanat Presiden 17
Agustus 1960, yang kemudian terkenal dengan rumusan “ Jalannya Revolusi Kita”
(JAREK).[[15]]
Istilah atau
rumusan inilah yang kemudian popular dengan sebutan NASKOM JIWAKU. Naskom
inipun diwujudkan di seluruh lembaga Negara baik DPAS, DPR GR, Front Nasional
dan lain sebagainya.[[16]]
Perwira-perwira
militer, khususnya Angatan Darat ( AD), yang memegang pimpinan ABRI memang
terkenal anti-Komunis (PKI). Sikap itu dibentuk oleh sebuah pengalaman pahit
menghadapi pemberontakan merebut kekuasaan yang dilakukan oleh partai Komunis,
September 1948, yang terkenal dengan “ PERISTIWA MADIUN”.
PKI membutuhkan
presiden untuk melindungi kegiatan politiknya. Sedangkan militer memerlukan
presiden, , yakni sebagai kekuatan fungsional.
Di pihak lain,
Presiden antara lain, untuk kepentingan mendapat legitimasi partisipasi aktif
mereka dalam sistem politik Soekarno juga membutuhkan militer untuk menyokong
konsep politiknya: Demokrasi Terpimpin. Sebab Soekarno tidak mempunyai basis
massa. Sedangkan kebutuhan Presiden akan PKI, adalah untuk mengimbangi peranan
ABRI dalam sistem politik.[[17]]
Usaha prresiden
menghalangi integrasi ABRI berpusat pada hankam, yang merupakan langkah awal
PKI mengacaukan tubuh ABRI, adalah ketika terjadi pencpotan jabatan KSAD dan
Jenderal AH. Nasution pada Juni 1962. Jabatan itu kemudian dipercayakan kepada
Jenderal A. Yani yang juga merangkap sebagai kepala Staf Komando Tertinggi di
Istana.[[18]]
Semenjak dr.
Subandrio menjabat Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) di tahun 1962, ditambah
pula ketika PM Djuanda meninggal dunia di tahun 1963 dan kedudukannya sebagai
PM digantikan oleh dr. Subandrio , maka dengan leluasa PKI melancarkan berbagai
fitnah. Para intelejensi PKI senantiasa membuat laporan palsu.[[19]]
Pada pokoknya
tindakan PKI dalam rangka merealisasikan cita-citanya dapat disimpulkan : (1)
Di dalam negeri berusaha keras memecah belah dan menysup ke dalam kekuatan
lawan; (2) Di luar Negeri berusaha mengubah politik luar negeri yang bebas
aktif menjadi condong ke kiri, ke blok komunis.[[20]]
Usaha
mengacaukan situasi ini di\lakukan PKI secara leluasa di segsla bidang
kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, ideologi maupun militer.
Di atas
merupakan sketsa kasar situasi politik sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada masa itu seluruh kekuatan politik dibuat tdak berdaya. Yang berperan
hanyalah PKI dan ABRI serta presiden Soekarno sebagai pemegang kunci keseimbangan
antara kedua kekuatan yang saling berhadapan itu.
Ketika partai
NU mengadakan Muktamar ke-22 pada 14-18 Desember 1959 di Jakarta, Idham Chalid
di depan Muktamar perlu menjelaskan bahwa keadaan Negara (kala itu) memerlukan
kebijaksanaan dan cara yang banyak berbeda dari keadaan normal sebelumnya.[[21]]
Beberapa hal
yang perlu dicatat selama NU menduduki kementerian agama antara lain : (1)
Tentang penyelenggaraan ibadah haji; (2) Pendirian Masjid Istiqlal yang kini
merupakan symbol kemegahan Islam di Idonesia, adalah atas hasil usaha menteri
Agama KH. A. Wahid Hasyim di zaman Bung Karno, yang pelaksanaannya dilakukan
oleh Menteri Agama KH. Ilyas, yang juga dari NU; (3) Pendirian Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) adalah hasil u-saha Menteri Agama KH. Wahib Wahab; (4)
Penerjemahan serta p-encetakan Al-Qur’an oleh departemen agama; (5) Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ) yang sampai saat ini masih terus bergema, hasil usaha
Menteri Aama KH. M.Dachlan.[[22]]
Pertimbangan
politis itu terbukti ketika PKI meningkatkan serangannya ke segala bidang
kehidupan yang, antara lain, pada awal tahun 60-an organisasi mahasiswa Komunis
CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) berhasil mendominasi 0rganisasi
PPMI (Perserikatan Perhimpunan Indonesia).
Tiga orang
duduk dalam DPAS mewakili NU, masing-masing adalah KH.Wahab Hasbullah, KH.Idham
Chalid dan KH.Saifuddin Zuhri. Tiga wakil NU tersebut selalu mengimbangi konsep
PKI, dan secara tidak langsung menghalau pikiran-pikiran PKI yang mengancam
keselamatan pancasila. NU mengemukakan konsepnya bahwasosialisme Indonesia
bukanlah sosialisme ala Moskow atau ala Peking.
NU mengusulkan
kepada pemerintah agar membentuk “ Natonal Planning Board” sebagai badan
perencanaan menuju ekonomi nasional yang sehat, yang dipimpin langsung oleh Dr.Mohammad
Hatta. Yang akhirnya kita kenal sekarang dengan istilah “Repelita” dan
“Pelita”.
Yang dilakukan
NU untuk mendekati presiden Soekarno agar tidak senantiasa didekati PKI adalah
terlihat jelas pada sikap Rais Aam NU, KH.Wahab Hasbullah.Begitu dekatnya Kiai
Wahab degan presiden Soekarno sampai terjadi pemberian atau tambahan nama
“Muhammad” di depan nama Soekarno, sehingga menjadi Muhammad Soekarno.
Hubungan baik
antara Kiai Wahab dan Presiden, ternyata memudahkan diterimanya saran-saran NU
yang disampaikan Kiai Wahab lewat DPAS. Misalnya ketika DPAS sedang
membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat dengan pihak Belanda,
yang terkenal dengan istilah “ Diplomasi Cancut Tali Wondo”.
Digambarkan leh
Idham Cholid, semenjak Dekrit presiden sampai dengan pengesahan kembali para NU
pada 14 April 1961, tokoh-tokoh NU sedang mengalami keprihatinan yang mendalam.
Pikiran mreka dipenuhi pertanyaan : Apakah NU masih boleh hidup atau tidak?
Mereka takut tergilas Penpres No. 7 tahun 1959 dan Penpres No. 13 tahun 1960.
Pada tanggal 15
April 1961, Presiden Soekarno menetapkan keputusannya untuk mengakui 8 partai
politik yang berhak hidup, satu diantaranya adalah NU menepati posisi paling
besar dilihat dari jumlah anggotanya. Barisan NU terdiri dari Pertanu, Lesbumi,
Sarbumsi, Fatayat, Muslimat. IPNU-IPPNU, PMII dan khususnya Pemuda Ansor dan
Bansernya, yang telah siap siaga menghadapi kemungkinan yang paling buruk dari
akibat yang ditimbilkan oleh aksi sepihak PKI.
Pada tanggal
6-14 Maret 1965 dilangsungkan KIAA (Konperensi Islam Asia-Afrika) di Bandung.
KIAA memilih “Lajnah Tandzimiyah” terdiri dari KH.Idham Chalid (presiden dari
Idonesia; NU), Dr.Muhammad Huballah (Wapres Mesir), Al Haj Ya’cup (Wapres
Nigeria), Syech Abdul Aziz (Wapres Arab Saudi), Prof.Hamid Ahmad Khan (Wapres
Pakistan), sekretaris Jenderal ditunjukkan HA. Sjaichu (Indonesia;NU). Dan
Faladun Dasumamba (Wakil Sekjen; Philipina0. Ditambah lagi dengan 2 orang
anggota masing-masing dari Iraq dan Thailand. Pada Juli dan Agustus 1965, CGMI
dan PR (Pemuda Rakyat) mengadakan latihan rahadia di Lubang Buaya. Ketua IV
PBNU, HM.Subchan ZE, yang sejak lama telah
menggalang persatuandi kalangan HMI, PMII, Pemuda Ansor, Muhammadiyah,
dll.
Karena suasana
yang belum stabil, maka, penyempurnaan cabinet masih terus dilakukan. Pada
tahun 1966 dibentuklah Kabinet Ampera dengan pimpinan Jenderal Soeharto. Dalam
cabinet inipun Idham Chalid tetap sebagai Menko Kesra, Sifudin Zuhri sebagai
Menteri Agama. Tetapi keikutsertaan NU dalam Kabinet Ampera dan Kabinet brikutnya,
tidak sebesar ketika kabinet-kabinet sebelumnya. Kemudian di lembaga
legislatif,baik MPRS maupun DPR, NU memegang peranan cukup penting. HM.Subchan
ZE terpilih sebagai Wakil Ketua MPRS (1966-1971), KH.A.Sjaichu sebagai Ketua
DPR-GR (1966-1971). Sedangkan dalam barisan massa pemuda, tokoh-tokoh NU
berperan sebagai motor penggerak untuk menghantam habis PKI dan seluruh
ormasnya. Pembubaran PKI, hanya berupa larangan mengadakan kegiatan secara de
facto. Sementara itu, keadaan ekonomi semakin buruk. Terutama setelah
dikeluarkannya peraturan penggantian mata uang dari Rp.1.000,00 menjadi Rp.1,00
pada tanggal 13 Desember 1965. Harga barang-barang kebutuhan pokok bukannya
turun, tapi justru melonjak ke langit.
Pada periode
1960-1965 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme dalam bentuknya
yang berwajah banyak. Hampir di semua sector kehidupan di mana PKI dapat
mengembangkan dirinya, NU tampil dengan membentuk beberapa organisasi, seperti
: Banser (Barisan Ansor Serbaguna) untuk melawan Pemuda Rakyat, Lesbumi
(Lembaga Seni Budaya Muslim) untuk menandingi Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat), Pertanu (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama) untuk membendung usaha PKI
melalui BTI (Barisan Tani Indonesia) di kalangan petani dan nelayan di
pedesaan, dan Sarbusumi (Sarikat Buruh Muslim Indonesia) untuk menandingi
aksi-aksi perburuan SOBSI.
Sikap anti
komunis yang dilakukan NU mencapai puncaknya pada saat terjadi Gerakan 30
September 1965. Ketika Dewan Revolusi mengumumkan aksinya pada hari 1 Oktober
1965, siang harinya NU segera mengutuk gerakan yang dikomandani Kolonel Untung
dan menuding PKI dan ormas-ormasnya berada dibelakang aksi tersebut. Pada 5
Oktober 1965 NU tampil menjadi kekuatan politik yang pertama menuntut
pembubaran PKI. Hari-hari sesuadah itu NU dan ormasnya secara aktif melakukan
usaha-usaha pembersihan terhadap kekuatan Gerakan 30 September (Gestapu).
Sejak Januari
hingga pertengahan Maret 1966, gerakan anti-pemerintah - khususnya
anti-Soekarno, tidak henti-hentinya dikobarkan. Para demonstrasi akhirnya
merumuskan tuntutannya yang kemudian populer dengan istilah “TRITURA” atau Tri
Tuntutan Rakyat, yakni: (1) Bubarkan PKI, (2) Rombak Kabinet Dwikora, dan (3)
Turunkan Harga.
Perkembangan
politik berikutnya, perlu mengadakan perombakan struktur politik secara
radikal. Perombakan mana dimaksudkan untuk lebih memperkokoh cita-cita Orde
Baru. Untuk menancapkan kaki Orde Baru agar semakin kokoh, maka pada bulan
Maret 1968, MPRS mengadakan siding kelima dan mengukuhkan Jenderal Soeharto
menjadi presiden penuh. Dan setelah itu dibentuklah Kabinet Pembentukan I yang
dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto.
Sebagai sebuah
partai yang banyak andil dalam usaha menciptakan Orde Baru, ternyata NU
mengakhiri kharirnya dalam eksekutif dengan tidak mendapatkan bagian apa-apa
dalam kabinet. Tetapi, sekedar menghibur hati, beberapa tokoh NU menanggapi
kenyataan itu sebagai sesuatu yang tidak perlu. NU berjuang bukan untuk
kedudukan, melainkan demi kepentingan Negara, bangsa dan agama. Dan perjuangan
itu dilakukan dengan penuh ikhlas “lillahi ta’ala”. Tetapi kemunduran peranan
NU ternyata kurang mampu menghadapi kenyataan yang timbul sesudahnya. Seperti
dikemukakan Chalid Mawardi, dalam hal front massa, NU telah memberikan andil
besar. Tetapi NU telah lengah di segi lain. Yaitu dalam hal front politik.
4)
Masa Orde Baru ( 1968-1973)
Pengakuan
Jenderal Soeharto sebagai Presiden oleh MPRS dalam bulan Maret 1968, menurut
Alfian, dapat dipergunakan sebagai ukuran bahwa kaki Orde Baru sudah tertanam
kuat. Tetapi Jenderal Soeharto masihdihapkan pada persoalan penting tentang
format politik macam apa yang harusditumbuhkan dan dikembangkan untuk membangu
Indonesia kembali.
Di zaman
“Demokrasi Liberal”, stabilitas politik tidak pernah terwujud. Penyebabnya,
antara lain, karena sistem banyak partai tidak pernah berhasil membentuk kabinet atau eksekutif yang kuat. Sedangkan
di zamann “Demokrasi Terpimpin”
kekuasaan Presiden Soekarno sebagai kepala eksekutif sangat besar.
Tetapi kekuasaan itu, ternyata, tidak dapat dipergunakan secara efektif dan
baik. Sebab Presiden Soekarno tidak pernah berhasil melaksanakan ide
penyederhanaan sistem kepartaian secara berarti, dan yang lebih penting, karena
Soekarno tidak memiliki basis masa yang mampu menyangga kedudukannya.[[23]]
Semenjak itu,
tingkah laku poltik Jenderal Soeharto menjurus kepada usaha-usaha menghilangkan
kelemahan yang pernah terjadi di zaman Presiden Soekarno. Sehingga, pada masa
itu pula, dibentuk kabinet atau eksekutif yang kuat, bersama dengan pengukuhan
posisi militer dan Golongan Karya (GOLKAR) sebagai basis utama kekuatannya.
Sejalan dengan itu, proses penyederhanaan partai berjalan secara sistematis.
Dan inilah format baru yang ditumbuhkan di masa Orde Baru.
AH.Nasution
mengemukakan, skala prioritas perjuangan Orde Baru adalah: (1)Membangun kembali
ekonomi yang sudah parah akibat kesalahan pemerintah Orde Lama, terutama
sandang pangan; (2) pengorbanan disegala bidang secara konsekuen, termasuk
pembersih, penertiban mental Orde Lama.[[24]]
Atas prakarsa
Subhan ZE (Ketua IV PBNU), dibentuklah Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP
GESTAPU) yang kemudian menjadi Front Pancasila. Gerakan ini bertujuan
menyelesaikan krisis politik yang terjadi di Indonesia dan mencapai puncaknya
ketika fraksi NU dalam DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) mengajukan
resolusi yang meminta dilaksanakan sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara). Resolusi ini kemudian menjadi usul resolusi DPRGR yang
meminta kepada MPRS melakukan sidang istimewa pada Maret 1967. Krisis
politikpun berakhir setelah diangkatnya Suharto menjadi pejabat Presiden RI.
Peristiwa ini mengawali babak baru pemerintahan Indonesia yang kemudian dikenal
dengan sebutan “Orde Baru”.
Pada
tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru NU memegang peranan cukup besar. Akan
tetapi dalam perkembangannya, NU mengalami anti klimaks dari seluruh prestasi
politiknya. Sampai menjelang pemilu 1971, NU masih memiliki wakilnya di
kabinet, tetapi ketika jabatan Menteri Agama beralih ke tangan Prof. Dr. A.
Mukti Ali berakhirlah sejarah keikut sertaan NU dalam kabinet pemerintahan Orde
Baru. Keterlibatan NU dibidang politik sesudah itu hanya pada sekitar parlemen
(legislative), sehingga secara nasional peranannya semakin menyempit.
Pengalaman
traumatic sebagai akibat pelaksanaan demokrasi parlementer dan demokrasi
terpimpin, mendatangkan badai kritik terhadap tatanan politik yang ada.
Perombakan struktur politik menjadi suatu keniscayaan, sehingga dilakukan
penyedrhanaan partai dan perubahan orientasi dalam pembangunan politik di
Indonesia. Pada 5 Januari 1973 di deklarasikan berdirinya Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari empat 94) partai Islam peserta
pemilu 1971, yakni : NU, Parmusi, PSII dan Perti. Dari partai ini diharapkan
muncul kesatuan langkah umat Islam dalam membawakan aspirasi politiknya.
Semula peranan
NU dalam PPP cukup besar karena hampir seluruh personalia pusatnya dijabat oleh
tokoh-tokoh NU seperti : KH. Bisri Syamsuri (Rais Am Majelis Syura), KH.
Masykur (Ketua Majelis Pertimbangan Partai), dan KH. Idham Khalid (Presiden
Partai). Akan tetapi sejak kepemimpinan J. Naro peranan NU semakin berkurang
karena dominasi unsure-unsur di luar NU, terutama MI (Muslim Indonesia), yang
menduduki jabatan-jabatan strategis dalam kepemimpinan partai.
Kondisi ini
mempengaruhi timbulnya gagasan-gagasan yang mengambil tema “kembali kepada jiwa
1926”. Gagasan ini pertama kali muncul secara terbuka pada Muktamar XXV NU
(20-25 Desember 1971) di Surabaya. Usaha mengembalikan keberadaan NU sebgai
organisasi keagamaan (jamiyyah diniyah) semakin menunjukkan hasilnya pada
Muktamar XXVI NU (5-11 Juli 1979) di Semarang. Akhirnya pada Muktamar XXVII NU
(8-12 Desember 1984) di Situbondo, NU secara resmi melepaskan diri dari
kegiatan politik praktis dan membebaskan warganya untuk memilih dan menyalurkan
aspirasi politiknya kepada partai-partai politik peserta pemilihan umum. Sejak
itu NU menapaki lembaran baru sejarahnya dengan kembali kepada jati dirinya
sebagai organisasi social keagamaan (jamiyyah diniyah ijtimaiyah) yang lebih
popular dengan kembali kepada “khitthah NU 1926”.
3.
Bidang Ekonomi
Bagi semua
orang, berekonomi dalam pengertian berbuat untuk mendapat nafkah hidup adalah
suatu kebutuhan mutlak. Bagi orang beragama, berekonomi adalah perintah Allah
SWT dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ajaran dan hukum agama.
Berekonomi adalah sarana mutlak untuk memelihara kelangsungan hidup dan di
dalam hidup itulah orang dapat ibadah, berbuat sesuatu untuk kepentingan agama,
bangsa dan Negara.
Berekonomi
dalam Islam adalah sekedar memenuhi kebutuhan pokok bagi diri sendiri dan
keluarga. Tetapi Islam tidak membiarkan pemeluknya hanya sekedar mampu memenuhi
kebutuhan yang paling minim bagi diri dan keluarganya saja.
Islam mendorong
secara tegas supaya para pemeluknya memiliki harta benda yang berlebih dari
kebutuhan pokoknya, sehingga mampu melaksanakan kewajiban berzakat. Mampu
berzakat berarti memiliki harta benda sedikitnya satu nisab. Orang baru
terlepas dari kewajiban itu setelah ternyata tidak mampu, Islam tidak
menyenangi kemiskinan, bahkan mengajarkan pemberantasan kemiskinan antara lain
dengan kewajiban membayar zakat.
Nahdlatul Ulama
tidak melupakan aspek ekonomi dalam program kerjanya yang permanen, karena
seluruh warganya berekonomi dan dalam berekonomi itu harus ditaati dan diikuti
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh agama.
Dalam Anggaran
Dasar Nahdlatul Ulama pasal 6 huruf d ditegaskan bahwa di bidang ekonomi,
mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan
kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan
mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan. Dengan demikian jelas
bahwa kesejahteraan umat merupakan masalah yang menjadi perhatian utama
Nahdlatul Ulama dalam kiprahnya di bidang ekonomi.
Program
berekonomi Nahdlatul Ulama dibatasi tidak lebih dari pokok-pokok ajaran agama
dalam berekonomi, yaitu :
1)
Mendorong para anggotanya untuk meningkatkan kegiatannya berekonomi
demi meningkatkan kemampuan ekonominya.
2)
Membimbing para anggotanya supaya dalam berekonomi selalu mentaati
dan mengikuti hukum dan ajaran Islam.
Berangkat dari
pokok-pokok di atas, maka Nahdlatul Ulama dapat mewujudkannya dengan cara :
1)
Membentuk koperasi tingkat bawah yang tumbuh dari kebutuhan nyata.
2)
Menciptakan jaringan-jaringan kerja ekonomi antara tingkat pedesaan
dengan pedesaan, perkotaan dengan perkotaan dan pedesaan dengan perkotaan.
3)
Nahdlatul Ulama selalu mengajukan gagasan, ajakan dan pengawasan
tentang penentuan skala prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh
pemerintah.
Nahdlatul Ulama
juga mengembangkan ekonomi melalui peran serta pesantren, karena terbukti
sangat efektif. Letak pesantren yang pada umumnya di pedesaan memungkinkan
lembaga ini memahami persoalan-persoalan desa, sehingga gagasan-gagasan
pengembangan kesejahteraan yang datang dari luar dapat diserap dengan baik oleh
masyarakat setelah diolah dan disampaikan oleh pesantren. Disamping itu
Nahdlatul Ulama juga memiliki perangkat organisasi yang mendukung program
ekonominya, seperti : lembaga perekonomian dan lembaga pengembangan pertanian.
4.
Bidang Pendidikan
Nahdlatul Ulama
memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci
dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan
harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya merupakan
komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan
tanggung jawab dan harmonisasi.
Fungsi
pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan manusia dan
bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk
memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang pembangunan
bangsa.
Gerakan
pendidikan Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul Ulama
sebagai organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul
Ulama dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara
pendidikan yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum
diskusi yang disebut Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu
pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur.
Dalam
mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama memandang
perlunya proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah atau
madrasah menjadi salah satu program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur
non formal seperti pesantren.
Sekolah atau
madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu
karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat
mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada
diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan,
Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah
atau madrasah dan segala bidang kegiatannya.
Lembaga
Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M
atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu
Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan
mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik.
Sebagai lembaga
yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul
Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi
meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi
yang dimaksud adalah :
1)
Visi
a)
Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains dan
teknologi serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b)
Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap, terampil dan bertanggung
jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhlak karimah.
c)
Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang mandiri, kreatif dan
inovatif dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat.
2)
Misi
a)
Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan menjadi
idola masyarakat.
b)
Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai perekat
komponen bangsa.
Selain sekolah
atau madrasah, pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah pesantren.
Dengan segala dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan sumbangan
besar yang tidak ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa, menyuburkan
tradisi keagamaan yang kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak karimah.
Pendidikan
pesantren dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren memiliki
kemandirian yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri,
mengembangkan ilmu (agama) maupun dalam mencetak ulama.Para lulusan pesantren
tidak sedikit yang tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi
kejuangan, keilmuan, kenegaraan maupun kepribadian.
Tradisi
keilmuan dan keahlian dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal sebagai
berikut :
1.
Adanya tahapan-tahapan materi keilmuan.
2.
Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian.
3.
Adanya metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin, pola
mandiri dan ekspresi).
4.
Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren.
Salah satu
tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam pengembangan
pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi yang menjadi
ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
Hanya dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti keberadaan dan
kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan
B.
Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Reformasi
Masa reformasi
yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan
sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama
rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa
saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi,
terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa
reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di
Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar
di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya
Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang
berlangsung di Indonesia, yang dikenal
dengan Refleksi Reformasi.
Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan
sikap dari PBNU, yaitu:
1.
Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga
agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
2.
Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk
merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea
rah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan
berkeadilan.
3.
Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat
menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.
Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan
dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari
adanya pemaksaan kehendak.
5.
Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif
dan bertanggung jawab.
6.
TNI harus berdiri di atas semua golongan.
7.
Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya
dilakukan pada kelompok tertentu.
8.
Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas
dalam setiap praktik ekonomi.
Pada
perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya
menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan
jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998
yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj,
M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang
Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam
gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang
enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember
1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH.
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan
Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH.
Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu
belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh
nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut
Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang
dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi,
yaitu :
1.
Menghimbau kepada semua
pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
2.
Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga
perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi
rakyat.
3.
Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan
di dalam proses pembangunan bangsa.
4.
Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan
yang akan datang.
5.
Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6.
Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun
dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
7.
Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan
Soeharto dan kroni-kroninya.
8.
Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan
reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala
bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia
digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa
Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah
terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada
bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan
istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan
antar komponen bangsa.
C. Menerapkan
Ukhuwwah Nahdliyyah Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1. Pengertian Ukhuwah Nahdliyah
Secara
etimologi, ukhuwah nahdliyah berasal dari dua kata bahasa Arab; ukhuwah yang artinya persaudaraan dan
nahdliyah yang artinya perspektif kelompok NU. Sedangkan secara epistemology,
ukhuwah nahdliyah adalah formulasi sikap persaudaraan, kerukunan, persatuan,
dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain atau satu
kelompok pada kelompok lain dalam interaksi social serta menjunjung tinggi
nilai-nilai agama, tradisi, dan sejarah bangsa yang menjunjung tinggi prinsip
Ahlussunnah Waljama’ah.
2. Ukhuwwah
Nahdliyyah
di Bidang Sosial- Politik
Spesifikasi kaum
nahdliyin yang sangat menonjol adalah sikap kebersamaan yang tinggi dengan
masyarakat di sekelilingnya. Kaum nahdliyin mampu menempatkan manusia pada
kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. Sebagaimana firmannya sebagai berikut
:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
( الحجرات
: 13)
Artinya : “
Wahai manusia sungguh kami ciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan
dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dab bersuku-suku supaya saling
mengenal, sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa, sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”
(QS Alhujurat : 13)
Landasan lain
dari ukhuwah nahdliyah adalah pendapat KH. Hasyim Asy’ari yang menegaskan bahwa
persatuan, ikatan batin, tolong menolong, dan kesetiaan antar manusia dapat
melahirkan kebahagiaan serta faktor penting bagi tumbuh kembangnya persaudaraan
dan kasih sayang.
Timbulnya sikap
ukhuwah dalam kehidupan masyarakat disebabkan adanya dua hal , yaitu :
a)
Adanya
persamaan, baik dalam masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman,
kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.
b)
Adanya
kebutuhan, yang dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerja sama dan
gotong royong serta persatuan.
Ukhuwah
(persaudaraan atau persatuan) menuntut beberapa sikap dasar untuk memengaruhi
kelangsungannya dalam realitas kehidupan sosial, sikap dasar tersebut adalah :
a) Saling mengenal
(Ta’aruf)
Ta’aruf adalah saling
kenal mengenal yang tidak hanya bersifat fisik ataupun biodata ringkas belaka, tetapi lebih jauh lagi menyangkut latar belakang pendidikan, budaya, keagamaan,
pemikiran, ide-ide, cita-cita serta problema kehidupan yang dihadapi.
b) Saling menghargai (tasamuh)
Menurut bahasa tasamuh artinya toleransi atau tenggang rasa. Menurut
istilah, tasamuh adalah perilaku tidak memaksakan kehendak dan kemauan diri
sendiri kepada orang lain. Orang yang bersifat tasamuh akan menghargai,
membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
kelakuan, dan sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya.
c) Tolong menolong (ta’awun)
Hendaknya
saling tolong-menolong dalam keadaan suka dan duka, senang atau tidak, mudah
maupun susah. Rasul bersabda, "Muslim
adalah saudara muslim, ia tidak mendhaliminya dan tidak menghinanya... tidak
boleh seorang muslim bermusuhan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, di mana
yang satu berpaling dari yang lain, dan yang lain juga berpaling darinya. Maka
yang terbaik dari mereka adalah yang memulai mengucapkan salam." (HR. Imam Muslim).
d) Saling mendukung (tadlamun)
Sesama ummat manusia harus selalu memiliki sikap saling mendukung di
antara satu dengan yang lain.
e) Saling menyayangi ( At tarahum)
Tarahum adalah saling memahami kelebihan dan kekurangan,
kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam kesalah pahaman
dapat dihindari
Ukhuwah
(persaudaraan atau persatuan) akan terganggu kelestariannya, apabila terjadi
sikap-sikap destruktif (muhlikat) yang bertentangan dengan perilaku etika
sosial (akhlaqul karimah) seperti :
a)
Saling menghina (Assakhriyah)
Memperolok-olokan
baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan kata-kata maupun dengan bahasa
isyarat karena hal ini dapat menimbulkan rasa sakit hati, kemarahan dan
permusuhan.
b)
Saling mencela (allamzu)
Mencaci
atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan, apalagi bila
kalimat penghinaan itu bukan sesuatu yang benar.
c)
Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
Memanggil
orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai. Kekurangan secara
fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk memanggil orang lain dengan
keadaan fisiknya itu.
d) Berburuk
sangka (suudhan)
Berburuk
sangka merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad) yang akibatnya akan
selalu buruk sangka apabila seseorang mendapatkan kemikmatan atau keberhasilan.
e)
Sikap curiga yang berlebihan (Tajassus)
Mencari-cari
kesalahan orang lain untuk merendahkannya. Bukannya mencari kesalahn diri
sendiri lebih baik agar kita bisan memperbaiki diri dari sebelumnya?Bergunjing
dengan membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak
menyukainya, apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang.
Manakala kita mengetahui rahasia orang lain yang ia tidak suka apabila ada
orang lain yang mengtahuinya, maka menjadi amanah bagi kita untuk tidak
membicarakannya.
f)
Sikap congkak (Takabbur)
Takabur atau sombong adalah sikap membanggakan diri. Ia merasa dirinya
lebih besar, lebih baik, lebih pandai, atau lebih kaya sehingga meremehkan
orang lain. Takabur biasanya berawal dari rasa ujub (membanggakan diri). Orang
yang ujub, lama kelamaan menjadi takabur. Orang yang takabur tidak saja
membanggakan diri atas kesuksesannya, tetapi ia biasa merendahkan orang lain
karena merasa dirinya yang paling sempurna.
Semua orang dipandang lebih kecil dan lebih hina. Padahal, orang hina itu
belum tentu lebih jelek daripada yang menghina. Orang yang merendahkan orang
lain belum tentu dirinya lebih mulia daripada orang lain yang direndahkan.
3. Kendala dan Hambatan Dalam Pengembangan
Wawasan Ukhuwah
Proses wawasan
ukhuwah tersebut kerap kali mengalami hambatan-hambtan karena beberapa masalah
yang timbul dari :
a)
Adanya
kebanggaan kelompok yang berlebihan, fanatisme yang tidak terkontrol.
b)
Adanya
kesempitan cakrawala berpikir, yang disebabkan oleh keterbatasan pemahaman
masalah keagamaan (keIslaman)
c)
Lemahnya
fungsi kepemimpinan umat dalam mengembangkan budaya ukhuwah
4. Pandangan NU Dalam Melestarikan Ukhuwah
Dalam penerapan
konsep dan wawasan ukhuwah dapat dilakukan berbagai cara dan melalui
bermacam-macam lembaga dan sarana, antara lain :
a) Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan Islam)
seyogyanya dimulai dari lingkungan yang paling kecil (keluarga), kemudian
dikembangkan yang lebih luas.
b) Perlu adanya keteladanan yang baik dari
para pemimpin
c) Mengembangkan perluasan cakrawala
berpfikir dalam masalah keagamaan maupun kemasyarakatan
d) Terbentuknya lembaga-lembaga atau
pranata-pranata yang dapat menumbuhkan kerukunan, persatuan dan solidaritas
e) Mendayagunakan semua lembaga dan sarana
baik yang disediakan pemerintah maupun swadaya masyarakat (ormas, pesantren, sekolah,
kampus ) sebagai sarana pengembangan persaudaraan Islam dan persatuan Nasional.
BAB III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
NU adalah sebuah organisasi Islam
besar di Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan, politik, ekonomi dan
pendidikan.
Sejak berdirinya Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang
kegiatannya sebagai usaha untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan berdirinya,
baik yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan, seperti peningkatan bidang
keilmuan, peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana
peribadatan dan pelayanan sosial serta peningkatan taraf hidup dan kualitas
hidup masyarakat.
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, Nahdlatul
Ulama senantiasa berusaha secara sadar untuk menciptakan warga negara yang
menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara.
Nahdlatul Ulama secara organisatoris tidak terikat dengan
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga
Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang
dilindungi oleh undang-undang dan harus dilakukan secara bertanggung jawab.
Ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang
ciderminkan rasa persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain atau suatu kelompok kepada
kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalah ijtimaiyah).
Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya timbul karena
dua hal, yaitu : Adanya persamaan, dalam baik masalah keyakinan/agama, wawasan,
pengalaman, kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.
Sikap yang mempengaruhi Ukhuwah antara lain: saling
mengenal (Ta’aruf), saling menghargai (tasamuh), tolong menolong (ta’awun), saling
mendukung (tadlamun), saling menyayangi (tarahum).
Sikap yang dapat mengganggu Ukhuwah antara lain: saling
menghina (Assakhriyah), saling mencela (allamzu), berburuk sangka (suudhan), suka
mencemarkan nama baik (ghibah), sikap curiga yang berlebihan (Tajassus), sikap
congkak (Takabbur)
II.
Saran
Sebaiknya sebagai warga NU, kita harus terus
mempertahankan eksistensi NU dari masa ke masa. Kita juga harus mengembalikan
citra NU yang sudah mulai terkontaminasi dengan organisasi-organisasi
kemasyarakat lainnya.
Daftar Pustaka
Adnan, Haji Abdul Basit . 1980
. Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi . Sala : CV. Mayasari
Alfian . 1983 . Pemikiran
dan Perubahan Politik Indonesia . Jakarta : Gramedia
Chalid, Idham . 1966 . MENDAYUNG
DAN TAUFAN .Jakarta : Endang dan api Islam
Kansil, C.S.T. 1974 . INTI
PENGETAHUAN UMUM . Jakarta : Pradaya Paramita
Kartodirjo, Sartono. 1975 . SEJARAH
NASIONAL INDONESIA, IV . Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Mahfoedz, Maksoem . 1982 . Kebangkitan
Ulama dan Bangkitnya Ulama. Surabaya : Yayasan Kesejahteraan Ummat
Nasution, AH. 1976 . KEMABALI
KE UUD 1945 . Jakarta : naskah tidak diterbitkan
PB. Nahdlatul Ulama . 1960 . PERATURAN
DASAR DAN PERATURAN RUMAH TANGGA PARTAI NU
RI, Departemen Penerangan . 1961
. ALMANAK LEMBAGA NEGARA DAN KEPARTAIAN . Jakarta : Percetakan
Negara
RI. Panitia Pembina Jiwa Revolusi .
1965 . Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi . Jakarta : Grafica
Suripto .t.th. BUNG
KARNO HARI-HARI TERAKHIRNYA Surabaya : PT. Grip
Thahir, H. Anas et. al (ed) . 1980
. Kebangkitan Ummat Islam dan Peranan NU di Indonesia .
Surabaya : PT. Bina Ilmu
Thoha, HM. As’ad . dkk. 2006 . Pendidikan
Aswaja dan ke-NU-AN untuk Madrasah Aliyah SMA/SMK Kelas II . Surabaya
: Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jawa Timur
Zuhri, Saifuddin.1981 . KALAIDOSKOP
POLITIK III . Jakarta : Gunung Agung
http://makalahaswajaunisnu.blogspot.co.id/2016/07/peranan-nu-dari-masa-ke-masa.html
Komentar
Posting Komentar