Peran NU dari masa kemasa


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Nahdlatul Ulama’ yang berarti (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam besar di Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan, politik, ekonomi dan pendidikan. Keterbelakangan baik secara mental maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Peranan NU sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Seperti semangat kebangkitan bangsa Indonesia terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, munculah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Nahdlatul Fikri (kebangkitan pemikiran)  sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama NU (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah peran NU dalam bidang keagamaan, politik, Ekonomi dan pendidikan?
2.      Bagaimanakah peran NU pada masa reformasi?
3.      Bagaimanakah Pengertian ukhuwwah nahdliyyah?
4.      Bagaimanakah Ukhuwwah nahdliyyah di bidang sosial-politik?
5.      Bagaimanakah Kendala dan hambatan dalam pengembangan wawasan ukhuwwah?
6.      Bagaimanakah Pandangan NU dalam melestarikan ukhuwwah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui peran NU dalam bidang keagamaan, politik, Ekonomi dan pendidikan.
2.       Untuk mengetahui peran NU pada masa reformasi.
3.       Untuk mengetahui Pengertian ukhuwwah nahdliyyah.
4.       Untuk mengetahui Ukhuwwah nahdliyyah di bidang sosial-politik.
5.       Untuk mengetahui Kendala dan hambatan dalam pengembangan wawasan ukhuwwah.
6.       Untuk mengetahui Pandangan NU dalam melestarikan ukhuwah.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peran NU dalam bidang keagamaan, politik, Ekonomi dan pendidikan
1.      Bidang Keagamaan
Sejak berdiri Nahdlatul Ulama menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam (Jam’iyyah Diniyyah Islamiyah). Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-pribadi muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya, sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam) sebagaimana firman Allah SWT :
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Artinya : Tidaklah  Kami  mengutusmu  (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. Ali Imran 107)
Sebagai organsasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh            ), kebersamaan dan hidup berdampingan antar sesama umat Islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis
Sebagai organisasi keagamaan, tentunya Naahdlatul Ulama memiliki ciri keagamaan yang dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain :
a)      Didirikan karena motif keagamaan, tidak karena dorongan politik, ekonomi atau lainnya.
b)      Berasas keagamaan sehingga segala sikap tingkah laku dan karakteristik perjuangannya selalu disesuaikan dan diukur dengan norma hukum dan ajaran agama.
c)      Bercita-cita keagamaan yaitu Izzul Islam wal Muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin) menuju Rahmatan lil ‘Alamin (menyebar rahmat bagi seluruh alam).
d)     Menitikberatkan kegiatannya pada bidang-bidang yang langsung berhubungan dengan keagamaan, seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, dakwah, ma’arif, muamalah dan sebagainya.
Ciri keagamaan tersebut dijabarkan dalam strategi dan wujud kegiatan-kegiatan pokok, dengan mengutamakan :
a)      Pembinaan pribadi-pribadi muslim supaya mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya menuju terwujudnya Jama’ah Islamiyah (masyarakat Islam).
b)      Dorongan dan bimbingan kepada umat terutama pada warganya untuk mau dan mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan rangkaian perjuangan besar meluhurkan kalimah Allah SWT.
c)      Mengorganisasikan kegiatan-kegiatan tersebut dalam wadah perjuangan dengan tata kerja dan tata tertib berdasar musyawarah.

2.      Bidang Politik
Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik, terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
 Dalam sejarah perjalanan Indonesia, tercatat bahwa Nahdlatul Ulama selalu memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Nahdlatul Ulama juga didasari oleh nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi.
 Politik jenis kedua yang dijalankan oleh Nahdlatul Ulama yaitu politik kerakyatan. Politik kerakyatan bagi Nahdlatul Ulama sebenarnya adalah perwujudan dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian diambil alih oleh generasi muda Nahdlatul Ulama melalui LSM-LSM, ketika melihat Nahdlatul Ulama secara structural kurang peduli terhadap permasalahan yang menyangkut kepentingan rakyat kecil.
 Nahdlatul Ulama juga menjalankan politik jenis ketiga, yaitu politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis. Politik kekuasaan merupakan jenis politik yang paling banyak menarik perhatian orang Nahdlatul Ulama. Dalam catatan sejarah, terlihat bahwa Nahdlatul Ulama pernah mendapatkan kesuksesan dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Pada saat itu, dalam waktu persiapan yang relative sangat pendek, Partai Nahdlatul Ulama yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Disusul pada pemilu pertama orde baru pada tahun 1971, dimana Partai Nahdlatul Ulama menduduki posisi kedua setelah Golongan Karya. Sejak saat itu banyak tokoh Nahdatul Ulama yang terjun ke dunia politik praktis. Hal ini membawa dampak negatif pada aktivitas penting Nahdlatul Ulama lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan dakwah yang menjadi terbengkalai.
Menyadari bahwa Nahdlatul Ulama merupakan satu kesatuan yang integral dari para anggotanya dengan aneka ragam latar belakang dan aspirasi masing-masing dan demi mengembangkan budaya politik yang bertanggung jawab, maka Nahdlatul Ulama memberikan pedoman berpolitik sebagai berikut :
a)      Berpolitik mengandung arti keterlibatan warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b)      Berpolitik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.
c)      Berpolitik dengan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
d)     Berpolitik harus dilakukan dengan moral, etika dan budaya sesuai dengan nilai-nilai sila-sila Pancasila.
e)      Berpolitik harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama.
f)       Berpolitik dilakukan untuk memperkokoh consensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
g)      Berpolitik dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan
h)      Perbedaan pandangan harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan dan saling menghargai.
i)        Berpolitik menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional.
Dengan berpedoman pada etika politik di atas, menurut Ir. KH. Salahuddin Wahid, Nahdlatul Ulama dapat mewujudkan peran politik yang ideal dengan selalu berpegang pada prinsip-prinsip, pertama, memperhatikan kepentingan bangsa dan negara serta agama, kedua, memperhatikan kepentingan Nahdlatul Ulama, baik secara jama’ah (komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi), ketiga, orang-orang Nahdlatul Ulama yang memiliki jabatan dalam structural organisasi Nahdlatul Ulama tidak masuk ke dalam wilayah politik praktis.
Selanjutnya dalam  merespon perkembangan politik pada masa reformasi, Nahdlatul Ulama memfasilitasi pendeklarasian sebuah partai politik. Pendeklarasian partai tersebut bertujuan untuk menyalurkan dan memproses warga nahdliyin yang ingin berkiprah dalam politik praktis agar menjadi politisi sejati, yang pada gilirannya menjadi negarawan.
Pada sisi lain, Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan pada warganya untuk memasuki partai politik manapun yang diyakininya dapat menjadikan dirinya sebagai politisi sejati dan negarawan. Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika berpolitik nahdliyin yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak kehilangan kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul Ulama.
Dalam berpolitik Nahdlatul Ulama mengalami beberapa masa, diantaranya sebagai berikut:
1)      Masa Pertumbuhan ( 1952-1955 )
Beberapa waktu sebelum keluar dari Masyumi, KH. A. Wahid Hasyim selaku Ketua Muda PBNU telah banyak melakukan kegiatan prakondisi. Perkembangan politik dalam tubuh Masyumi senantiasa disampaikan kepada para tokoh NU baik di daerah maupun di pusat. Maksudnya agar mereka juga ikut menilai, memikirkan dan kemudian menentukan sikap. Puncak pra-kondisi itu ditandai dengan berkumpulnya tokoh-tokoh NU se-Jawa dan Madura di kediaman KH. Maksum Khalil, Jagalan-Jombang, awal April 1952. Berbagai persoalan telah dibahas dan akhirnya diputuskan : “ Secara organisatoris NU memisahkan diri dari Masyumi, dan mengusahakan kepada Masyumi agar segera mengadakan re-organisasi untuk menjadikan dirinya sebagai badan federasi. Keputusan ini kemudian dituangkan dalam keputusan PBNU yang terkenal dengan “Surat Keputusan PBNU tanggal 5/6 April 1952”.[[1]]
Kemudian pada Muktamar ke-19 di Palembang tanggal 28 April – 1 Mei 1952, keputusan PBNU tersebut disampaikan dalam Muktamar. Ternyata 61 suara menyetujui, 9 suara menolak dan 7 suara memisahkan diri dari Masyumi dengan syarat sebagai berikut :
a)      Pelaksanaan keputusan jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan ummat Islam Indonesia,
b)      Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan melalui perundingan dengan Masyumi, dan
c)      Keputusan ini dijalankan dalam hubungan luas berkenaan dengan keinginan membentuk Dewan Pimpinan Ummat Islam Indonesia yang nilainya lebih tinggi, di mana partai-partai dan organisasi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Selain itu, Muktamar juga membentuk panitia yang terdiri dari 7 cabang, 3 di antaranya cabang yang setuju kepada keputusan PBNU, 3 dari cabang yang kontra (tidak setuju) dan 1 cabang yang blanko. Panitia ini bersama dengan PBNU akan menentukan sikap : Apakah NU akan memproklamasikan menjadi partai politik atau tidak. Dan panitia ini akan bersidang menunggu hasil perundingan NU dengan Masyumi mengenai sikap tersebut.[[2]]
Ternyata, Masyumi tidak mau mendengarkan niat baik NU. Dan lahirlah Partai Politik NU yang disponsori para Kiai.
Masih dalam Muktamar Palembang NU memutuskan beberapa pokok pikirannya yang erat hubungannya dengan politik :
a.       Mendesak Pemerintahan RI agar segera mengadakan Pemilihan Umum,
b.      Menyetujui kehendak Pemerintahan RI untuk mengadakan penghematan dan membasmi pengeluaran yang tidak jujur,
c.       Mendesak kepada Pemerintah agar menggiatkan pendidikan Pancasila secara teratur dan bersungguh-sungguh, khususnya tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang tampaknya kurang mendapat perhatian.[[3]]
Dengan demikan, NU sudah membuka lembaran sejarah baru. Jika semula ia hanya menitikberatkan orientasinya kepada soal-sola social dan keagamaan, maka semenjak Muktamar Palembang NU menambah orientasi kepada masalah politik. AD-ART pun sudah tidak bernama jami’iyah lagi, tetapi sudah diubah menjadi AD-ART partai politik NU. Lapangan usahanya juga semakin membengkak kepada persoalan pertahanan keamanan, politik luar negeri dan dalam negeri, perburuan dan persoalan social-budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Tentu saja, tujuan untuk menumbuhkan masyarakat Islamiyah, tidak terlupakan. Meski sudah berubah dan tumbuh menjadi partai politik, pola organisasi NU masih tetap pola organisasi Jami’iyah diniyah, yakni menempatkan ulama pada posisi sentral. Dan mengenai keanggotaan pun masih dpertahankan, yakni harus orang Indonesia yang beragama Islam dan berhaluan salah satu dari empat madzab.[[4]]
Dari uraian di atas, bisa dipahami dan diketahui apa dan bagaimana sesungguhnya visi, misi dan haluan politik NU. Tiada lain, NU ingin menegakkan dan membentuk masyarakat Islamiyah, menganut paham perdamaian, menginginkan terciptanya Negara Hukum yang berkedaulatan rakyat. Dan haluan perjuangan politik itu akan tercermin dalam perilaku politik NU.
Pada masa pertumbuhan, partai politik NU menghadapi berbagai kesulitan. Pertama, kekurangan tenaga terampil di bidang politik. Kedua, kesulitan menghadapi lawan politik, dalam arti pertentangan ideologis dengan PKI dan sekutunya. Di samping juga harus “melawan” Masyumi dalam pola pemerintahan koalisi, karena pertentangan harga diri.
Untuk kesulitan pertama, partai NU segera mengadakan rekrutmen (penambahan anggota tenaga terampil di bidang politik. Dan tentu saja tenaga terampil harus beragama Islam dan berhaluan dari empat madzab atau menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah. Selain itu, tenaga terampil ini harus juga memiliki ketaatan kepada para ulama, meski ketaatan itu hanya bersifat formal. Seperti tampilnya H. Djamaluddun Malik yang memprakasai, dan akhirnya NU menyetujui berdirinya Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), yang bertugas memelihara seni budaya muslim, dan berperan mencegah berkembangnya seni budaya yang ditangani kelompok Komunis atau PKI.[[5]]
Selain itu ada Idham Chalid, yang dikenal sebagai orang yang strategi, kepala dingin, cermat dan teliti dalam berpolitik, pandai bergaul dan bisa hidup disegala zaman dan aktif dalam mengambil bagian di dalam partai NU, dan berhasil menduduki posisi ketua MAa’arif NU pada tahun 1952. Karena potensinya dalam berpolitik sangat menonjol, pada Muktamar ke-21 di Medan, Desember 1956, ia terpilih sebagai Ketua Umum PBNU.[[6]]
Ciri khusus dalam usaha rekrutmen ini adalah tanpa melihat latar belakang social maupun pendidikannya. Yang penting, tenaga yang diambil mau taat dan patuh kepada kepemimpinan Syuriyah.
Setelah kesulitan pertama teratasi. NU segera mengalihkan perhatiannya kepada persoalan konsolidasi dan penyelamatan eksistensi partai, baik yang ada hubungannya dengan keanggotaan Parlemen maupun keikutsertaannya di dalam Kabinet. Selain itu, NU berusaha menggalang persatuan barisan Islam untuk berjuang bersama demi agama, Negara dan bangsa. Namun, sikap hati-hati dan penuh pertimbangan masih tercermin dalam segala tingkah laku politik NU di masa pertumbuhannya.
Dengan segala pertimbangan yang mendalam, setelah NU resmi menjadi partai politik, para anggota NU yang duduk di Parlemen RI segera mengadakan reaksi politik. Delapan anggota fraksi Masyumi (dari NU) secara sukarela membentuk fraksi tersendiri, yakni fraksi NU. Mereka itu adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Ilyas, Muhammad Saleh Suryaningprojo, Muhammad Ali Prataningkusumo, A. A. Achsin, Idham Chalid, As. Bamid dan Zainul Arifin (kemudian diganti oleh Saifudin Zuhri).[[7]]
Pada waktu ditingalkan oleh KH. A. Wahib Hasbullah, karena beliau berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 19 April 1953, NU tetap gigih mengadakan propaganda demi kemenangan pemilu 1955. Salah satu contoh kegigihan NU dalam berkampanye adalah melawan PKI ketika partai komunis hendak menggunakan gambar “palu arit”, dengan tambahan kalimat “PKI dan orang-orang tak berpartai”. Idham Chalid dari NU yang bertugas sebagai juru bicara memprotes rencana PKI itu dan berhasil menggagalkannya.[[8]] Dan DN. Aidit,  Ketua CC PKI, pernah membujuk agar Idham mau menerima rencana tersebut. Tapi idham tidak menolaknya.
Kerja keras para pemimpin NU tidaklah sia-sia. Hasil pemilu 1955 menunjukkan, NU berhasil keluar sebagai empat besar setelah Masyumi dan PNI. NU berhasil mendapatkan sebanyak 6.955.141 suara. Sehingga jumlah kursi di Parlemen yang semasa bergabung dengan Masyumi hanya 8 kursi, melonjak menjadi 45 kursi.[[9]] Keberhasilan NU dalam pemilu ini tentu saja mengubah peta politik Indonesia . di dalam Parlemen, partai-partai Islam telah menduduki 114 kursi dari 257 kursi yang telah diperebutkan. Masyumi mendapat 57, NU 45, PSII 8 dan PERTI 4.[[10]]
Di dlam Kabinet, dari 25 Menteri yang diperebutkan, 13 diantaranya berhasil diduduki partai-partai Islam. Masyumi 5 orang Menteri, PSII 2 orang Menteri, PERTI seorang Menteri dan NU menduduki 5 orang Menteri. Jabatan menteri yang diduduki oleh NU adalah Wakil Perdana Menteri (KH. Idham Chalid), Menteri Dalam Negeri (Mr.Sunaryo), Menteri Perekonomian (Mr. Burhanuddin Harahap), Menteri Sosial (KH. Fattah Yasin),dan Menteri Agama (KH. M. Ilyas).[[11]]
2)      Masa Perjuangan ( 1955-1959 )
Setelah proklamasi kemerdekaan, hampir semua organisasi Islam sepakat menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya Partai Politik Islam. Organisasi-organisasi Islam yang pertama kali memperkuat Partai Masyumi adalah : NU, Muhammadiyah, Perserikatan Ulama Islam, Persatuan Umat Islam dan pada tahun berikutnya ditambah oleh organisasi-organisasi lain, seperti : Al-Irsyad, Al-Jamiyyah al-Wasliyah, dan Pesatuan Islam. Untuk menjadi anggota Masyumi dapat dilakukan dengan dua jalur, yaitu keanggotaan pribadi dan keanggotaan organisasi. Cara keanggotaan inilah yang tidak disetujui oleh Nahdlatul Ulama karena akan menyebabkan rapuhnya dukungan terhadap Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam kelak di kemudian hari.
Pada tahun 1949 pimpinan partai Masyumi melakukan reorganisasi dengan mengubah fungsi Majelis Syuro hanya sebagai penasehat. Menanggapi keputusan tersebut, dalam mukhtamar XVIII NU di Jakarta pada 30 April-3 Mei 1950 diputuskan NU akan keluar dari Masyumi sambil menunggu sementara waktu untuk memberikan kesempatan partai Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi-koreksi yang disampaikan NU. Akhirnya, pada muktamar XIX NU di Palembang pada 1 Mei 1952, secara resmi NU menyatakan keluar dari partai Masyumi dan menjadikan dirinya sebagai partai politik. Sejak itu NU memasuki dunia politik secara otonom dan terlibat langsung dalam persoalan-persoalan kekuasaan Negara. Meskipun demikian, NU tidak melepaskan karakteristiknya sebagai organisasi keagamaan dengan tetap mempertahankan struktur kepemimpinan formalnya yang disebut Syuriah dan Tanfidziyah.
Sebagai partai politik, sudah tentu NU dituntut untuk mengambil bagian dalam berbagai aktivitas pemerintahan guna membangun bangsa dan Negara. Pada tahun 1953, NU masuk dalam cabinet Ali Sastroamijaya dengan menempatkan kader-kadernya, yaitu: KH. Zainul Arifin (Wakil Perdana Menteri), KH. Masykur (Menteri Agama), Muhammad Hanafiyah (Menteri Agraria). Begitu juga pada masa cabinet Burhanuddin Harahap, NU juga ikut didalamnya. Dua orang duduk dalam kementrian, yakni Mr. Sunaryo (Menteri Dalam Negeri) dan KH. Mohammad Ilyas (Menteri Agama).
Pada Pemilihan Umum tahun 1955, di luar dugaan NU menempati urutan ketiga dan menjadi empat partai besar dengan memperoleh 45 kursi di parlemen (DPR RI). Perolehan suara yang cukup besar itu tidak lepas dari pengaruh para kiai dan pesantren. Umat Islam yang sebagian besar berada di desa memiliki jalinan emosioanal yang amat erat dengan para kiai. Mereka sangat patuh kepada kiai, sehingga ketika para kiai memberikan dukungannya kepada NU, mereka pun ikut mendukungnya.
Setelah dalam pemilu 1955 berhasil keluar sebagai partai besar, pasca pemilu 1955 NU menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perjuangan yang ulet dan militant. Sebab kabinet yang disusun berdasarkan hasil pemilu yang dikenal dengan Kabinet Ali Sastroamiidjojo II atau Kabinet Ali-Roem-Idham- kabinet koalisi partai PNI-Masyumi-NU telah mendapat tantangan yang berat dari presiden Soekarno. Presiden Soekarno secara terang-terangan menyatakan keinginannya agar diikutsertakan dalam Kabinet. Alasannya karena PKI juga berhasil menjadi salah satu dari empat partai besar. Tetapi baik PNI, NU, maupun Masyumi tidak menginginkan keikutsertaan PKI dalam Kabinet. Pembelaan Soekarno kepada PKI, secara politis menguntungkan PKI dalam pertumbuhan politik di Indonesia selanjutnya, dan presiden Soekarno sudah melibatkan diri ke dalam kancah politik dan langsung menyaingi Parlemen. Dengan konsep “Demokrasi Terpimpin”, presiden Soekarno mengecam system “Demokrasi Liberal”, karena system banyak partai yang tidak pernah membangun sebuah pemerintahan yang kuat, yang dibutuhkan Indonesia guna membangun dirinya.
Ketika demontrasi terpimpin dicanangkan. NU menerima dengan catatan agar tetap menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan atas dasar musyawarah dan mufakat. Demikian juga ketika presiden Sukarno akan menerapkan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis). Sikap politik NU ini didasari oleh sebuah prinsip bahwa “dar’u mafaasid muqaddamun ala jalbil mashalih” ( menghindarkan kerusakan lebih diutamakan dari pada mengambil manfaat). Adapun madlarat lebih besar itu berupa :
1)      Tempat disediakan bagi NU dapat diduduki anasir lain yang membahayakan.
2)      Kedudukan partai NU sebagai oposisi yang belum disiapkan, akan bisa merupakan suatu bencana yang tidak diharapkan.
Dengan prinsip ini NU mampu menempatkan dirinya dalam keadaan apa dan bagaimana langkah yang harus dilakukannya. Setiap tindakan harus diperhitungkan manfaat dan madlaratnya dengan mempertimbangkan keselamatan agama, bangsa dan Negara.
Agaknya inilah masa yang paling kritis, tetapi sekaligus menunjukkan puncak prestasi NU di percaturan politik Indonesia. Di satu sisi NU berada dalam Nasakom, tetapi di pihak lain harus mengembangkan perlawanannya terhadap komunisme.
Keadaan semakin bahaya setelah dibubarkannya Kabinet Ali-Roem-Idham dalam bulan Maret 1957, praktis peranan Parlemen dan partai-partai politik menjadi merosot. Pusat kekuasaan yang biasanya berada di Parlemen beralih kepada Presiden Soekarno. Dengan segera presiden mengumumkan gagasannya membentuk Dewan Nasional dan membubarkan partai-partai, dengan menerapkan demokrasi terpimpin, memasukkan golongan fungsionilke dalam Parlemen. Langkah pertama yang dilakukan Presiden Soekarno adalah membentuk Kabinet baru. Untuk menghadapi situasi politik seperti itu, NU masih sempat mencoba  mengadakan Sidang Pleno NU bersama konsul-konsul NU se-Indonesia pada tanggal 9-10 Maret 1957, yang khusus membicarakan gagasan dari presiden Soekarno yang ingin membentuk Dewan Nasional, pada intinya, akan menyetujui dengan syarat Dewan Nasional hanya bersifat sebagai penasehat dan tidak mempunyai akibar politis, dan pembentukannya diselesaikan oleh Kabinet bersama Kepala Negara.
Kemauan Presiden Soekarno segera terwujud pada 9 April 1957. Kabinet ini bernama “Kabinet Karya” dengan Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri, Mr. Hardi, Idham Chaliddan Leimena masing-masing menjadi wakil Perdana Menteri I, II, III. Dari partai NU juga ditunjuk KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama, Mr. Sunaryo sebagai Menteri Agraria, Prof. Drs. Sunaryo sebagai Menteri Perdagangan.
3)      Masa Pergolakan ( 1959-1968 )
Setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, pimpinan pemerintah dan Angkatan Bersenjata diletakkan di tangan Presiden.[[12]] Kekuasaan semakin berpusat ke Istana Negara, ke tangan Presiden Soekarno, fungsi departemen semakin berkurang, khususnya Departemen Hankam (Pertahanan dan Keamanan). Otonomi Presiden Soekarno semakin mekar dan bahkan menjadi ukuran kehidupan politik dimasa itu. Organisasi sosial poitik  menjadi lumpuh tidak berdaya. Suhu politik semakin memanas dan sia-sia demokrasi yang paling penghabisan pun lenyap tertelan gelombang Demokrasi terpimpinya presiden Soekarno.[[13]]
Tindakan-tindakan inkonstitusional semakin gencar dilakukan presiden. Antara lain, MPR hasil pemilihan rakyat dibubarkan dan diganti MPRS yang diatur oleh Penetapan Prsiden (Penpres) No.2 tahun 1959 tanggal 22 Juli 1959. Anggota MPRS diangkat dan Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pimpinan pemerintah dan Angkatan Bersenjata diletakkan di tengah presiden. Bahkan demi kesatuan komando - sesuai dengan prinsip Demokrasi Terpimpin pimpinan rakyat perlu diserahkan secara formal pula kepada Presiden. Pimpinan rakyat itu pun diwujudkan dengan membentuk organisasi massa yang dipimpin lagsung oleh Presiden. Dengan demikian, kekuasaan semakin berpusat ke Istana Ngara, keangan Presiden Soekarno, fungsi diberhentikan oleh presiden sendiri.
Selanjutnya, pidato kenegaraan 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, oleh DPAS ditetapkan  sebagai Garis-Garis besar Haluan Negara (GBHN). Dan untuk memberangus system banyak partai, dikeluarkan Penpres No. 7 tahun 1959 tentang penyederhanaan kepartaian. Masyumi dan PSI terkena Penpres ini. DPR hasil pilihan rakyat dibubarkan dan diganti DPR-GR yang diatur melalui Penpres No. 4 tahun 1960, ketika di Bandung dilangsungkan Kongres Pemuda Indonesia, pidato presiden di depan Kongres yang terkenal dengan istilah USDEK, oleh DPAS dianggap sebagai bagaian tidak terpisahkan dari MANIPOL. Maka jadilah MANIPOL-USDEK.[[14]]
Ide Presiden Soekarno paling penting adalah mempersatukan bangsa Indonesia ke dalam NASKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisme). Ide ini terlihat jelas pada amanat Presiden 17 Agustus 1960, yang kemudian terkenal dengan rumusan “ Jalannya Revolusi Kita” (JAREK).[[15]]
Istilah atau rumusan inilah yang kemudian popular dengan sebutan NASKOM JIWAKU. Naskom inipun diwujudkan di seluruh lembaga Negara baik DPAS, DPR GR, Front Nasional dan lain sebagainya.[[16]]
Perwira-perwira militer, khususnya Angatan Darat ( AD), yang memegang pimpinan ABRI memang terkenal anti-Komunis (PKI). Sikap itu dibentuk oleh sebuah pengalaman pahit menghadapi pemberontakan merebut kekuasaan yang dilakukan oleh partai Komunis, September 1948, yang terkenal dengan “ PERISTIWA MADIUN”.
PKI membutuhkan presiden untuk melindungi kegiatan politiknya. Sedangkan militer memerlukan presiden, , yakni sebagai kekuatan fungsional.
Di pihak lain, Presiden antara lain, untuk kepentingan mendapat legitimasi partisipasi aktif mereka dalam sistem politik Soekarno juga membutuhkan militer untuk menyokong konsep politiknya: Demokrasi Terpimpin. Sebab Soekarno tidak mempunyai basis massa. Sedangkan kebutuhan Presiden akan PKI, adalah untuk mengimbangi peranan ABRI dalam sistem politik.[[17]]
Usaha prresiden menghalangi integrasi ABRI berpusat pada hankam, yang merupakan langkah awal PKI mengacaukan tubuh ABRI, adalah ketika terjadi pencpotan jabatan KSAD dan Jenderal AH. Nasution pada Juni 1962. Jabatan itu kemudian dipercayakan kepada Jenderal A. Yani yang juga merangkap sebagai kepala Staf Komando Tertinggi di Istana.[[18]]
Semenjak dr. Subandrio menjabat Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) di tahun 1962, ditambah pula ketika PM Djuanda meninggal dunia di tahun 1963 dan kedudukannya sebagai PM digantikan oleh dr. Subandrio , maka dengan leluasa PKI melancarkan berbagai fitnah. Para intelejensi PKI senantiasa membuat laporan palsu.[[19]]
Pada pokoknya tindakan PKI dalam rangka merealisasikan cita-citanya dapat disimpulkan : (1) Di dalam negeri berusaha keras memecah belah dan menysup ke dalam kekuatan lawan; (2) Di luar Negeri berusaha mengubah politik luar negeri yang bebas aktif menjadi condong ke kiri, ke blok komunis.[[20]]
Usaha mengacaukan situasi ini di\lakukan PKI secara leluasa di segsla bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, ideologi maupun militer.
Di atas merupakan sketsa kasar situasi politik sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa itu seluruh kekuatan politik dibuat tdak berdaya. Yang berperan hanyalah PKI dan ABRI serta presiden Soekarno sebagai pemegang kunci keseimbangan antara kedua kekuatan yang saling berhadapan itu.
Ketika partai NU mengadakan Muktamar ke-22 pada 14-18 Desember 1959 di Jakarta, Idham Chalid di depan Muktamar perlu menjelaskan bahwa keadaan Negara (kala itu) memerlukan kebijaksanaan dan cara yang banyak berbeda dari keadaan normal sebelumnya.[[21]]
Beberapa hal yang perlu dicatat selama NU menduduki kementerian agama antara lain : (1) Tentang penyelenggaraan ibadah haji; (2) Pendirian Masjid Istiqlal yang kini merupakan symbol kemegahan Islam di Idonesia, adalah atas hasil usaha menteri Agama KH. A. Wahid Hasyim di zaman Bung Karno, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri Agama KH. Ilyas, yang juga dari NU; (3) Pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah hasil u-saha Menteri Agama KH. Wahib Wahab; (4) Penerjemahan serta p-encetakan Al-Qur’an oleh departemen agama; (5) Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang sampai saat ini masih terus bergema, hasil usaha Menteri Aama KH. M.Dachlan.[[22]]
Pertimbangan politis itu terbukti ketika PKI meningkatkan serangannya ke segala bidang kehidupan yang, antara lain, pada awal tahun 60-an organisasi mahasiswa Komunis CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) berhasil mendominasi 0rganisasi PPMI (Perserikatan Perhimpunan Indonesia).
Tiga orang duduk dalam DPAS mewakili NU, masing-masing adalah KH.Wahab Hasbullah, KH.Idham Chalid dan KH.Saifuddin Zuhri. Tiga wakil NU tersebut selalu mengimbangi konsep PKI, dan secara tidak langsung menghalau pikiran-pikiran PKI yang mengancam keselamatan pancasila. NU mengemukakan konsepnya bahwasosialisme Indonesia bukanlah sosialisme ala Moskow atau ala Peking.
NU mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk “ Natonal Planning Board” sebagai badan perencanaan menuju ekonomi nasional yang sehat, yang dipimpin langsung oleh Dr.Mohammad Hatta. Yang akhirnya kita kenal sekarang dengan istilah “Repelita” dan “Pelita”.
Yang dilakukan NU untuk mendekati presiden Soekarno agar tidak senantiasa didekati PKI adalah terlihat jelas pada sikap Rais Aam NU, KH.Wahab Hasbullah.Begitu dekatnya Kiai Wahab degan presiden Soekarno sampai terjadi pemberian atau tambahan nama “Muhammad” di depan nama Soekarno, sehingga menjadi Muhammad Soekarno.
Hubungan baik antara Kiai Wahab dan Presiden, ternyata memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan Kiai Wahab lewat DPAS. Misalnya ketika DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat dengan pihak Belanda, yang terkenal dengan istilah “ Diplomasi Cancut Tali Wondo”.
Digambarkan leh Idham Cholid, semenjak Dekrit presiden sampai dengan pengesahan kembali para NU pada 14 April 1961, tokoh-tokoh NU sedang mengalami keprihatinan yang mendalam. Pikiran mreka dipenuhi pertanyaan : Apakah NU masih boleh hidup atau tidak? Mereka takut tergilas Penpres No. 7 tahun 1959 dan Penpres No. 13 tahun 1960.
Pada tanggal 15 April 1961, Presiden Soekarno menetapkan keputusannya untuk mengakui 8 partai politik yang berhak hidup, satu diantaranya adalah NU menepati posisi paling besar dilihat dari jumlah anggotanya. Barisan NU terdiri dari Pertanu, Lesbumi, Sarbumsi, Fatayat, Muslimat. IPNU-IPPNU, PMII dan khususnya Pemuda Ansor dan Bansernya, yang telah siap siaga menghadapi kemungkinan yang paling buruk dari akibat yang ditimbilkan oleh aksi sepihak PKI.
Pada tanggal 6-14 Maret 1965 dilangsungkan KIAA (Konperensi Islam Asia-Afrika) di Bandung. KIAA memilih “Lajnah Tandzimiyah” terdiri dari KH.Idham Chalid (presiden dari Idonesia; NU), Dr.Muhammad Huballah (Wapres Mesir), Al Haj Ya’cup (Wapres Nigeria), Syech Abdul Aziz (Wapres Arab Saudi), Prof.Hamid Ahmad Khan (Wapres Pakistan), sekretaris Jenderal ditunjukkan HA. Sjaichu (Indonesia;NU). Dan Faladun Dasumamba (Wakil Sekjen; Philipina0. Ditambah lagi dengan 2 orang anggota masing-masing dari Iraq dan Thailand. Pada Juli dan Agustus 1965, CGMI dan PR (Pemuda Rakyat) mengadakan latihan rahadia di Lubang Buaya. Ketua IV PBNU, HM.Subchan ZE, yang sejak lama telah  menggalang persatuandi kalangan HMI, PMII, Pemuda Ansor, Muhammadiyah, dll.
Karena suasana yang belum stabil, maka, penyempurnaan cabinet masih terus dilakukan. Pada tahun 1966 dibentuklah Kabinet Ampera dengan pimpinan Jenderal Soeharto. Dalam cabinet inipun Idham Chalid tetap sebagai Menko Kesra, Sifudin Zuhri sebagai Menteri Agama. Tetapi keikutsertaan NU dalam Kabinet Ampera dan Kabinet brikutnya, tidak sebesar ketika kabinet-kabinet sebelumnya. Kemudian di lembaga legislatif,baik MPRS maupun DPR, NU memegang peranan cukup penting. HM.Subchan ZE terpilih sebagai Wakil Ketua MPRS (1966-1971), KH.A.Sjaichu sebagai Ketua DPR-GR (1966-1971). Sedangkan dalam barisan massa pemuda, tokoh-tokoh NU berperan sebagai motor penggerak untuk menghantam habis PKI dan seluruh ormasnya. Pembubaran PKI, hanya berupa larangan mengadakan kegiatan secara de facto. Sementara itu, keadaan ekonomi semakin buruk. Terutama setelah dikeluarkannya peraturan penggantian mata uang dari Rp.1.000,00 menjadi Rp.1,00 pada tanggal 13 Desember 1965. Harga barang-barang kebutuhan pokok bukannya turun, tapi justru melonjak ke langit.
Pada periode 1960-1965 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme dalam bentuknya yang berwajah banyak. Hampir di semua sector kehidupan di mana PKI dapat mengembangkan dirinya, NU tampil dengan membentuk beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor Serbaguna) untuk melawan Pemuda Rakyat, Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim) untuk menandingi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Pertanu (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama) untuk membendung usaha PKI melalui BTI (Barisan Tani Indonesia) di kalangan petani dan nelayan di pedesaan, dan Sarbusumi (Sarikat Buruh Muslim Indonesia) untuk menandingi aksi-aksi perburuan SOBSI.
Sikap anti komunis yang dilakukan NU mencapai puncaknya pada saat terjadi Gerakan 30 September 1965. Ketika Dewan Revolusi mengumumkan aksinya pada hari 1 Oktober 1965, siang harinya NU segera mengutuk gerakan yang dikomandani Kolonel Untung dan menuding PKI dan ormas-ormasnya berada dibelakang aksi tersebut. Pada 5 Oktober 1965 NU tampil menjadi kekuatan politik yang pertama menuntut pembubaran PKI. Hari-hari sesuadah itu NU dan ormasnya secara aktif melakukan usaha-usaha pembersihan terhadap kekuatan Gerakan 30 September (Gestapu).
Sejak Januari hingga pertengahan Maret 1966, gerakan anti-pemerintah - khususnya anti-Soekarno, tidak henti-hentinya dikobarkan. Para demonstrasi akhirnya merumuskan tuntutannya yang kemudian populer dengan istilah “TRITURA” atau Tri Tuntutan Rakyat, yakni: (1) Bubarkan PKI, (2) Rombak Kabinet Dwikora, dan (3) Turunkan Harga.
Perkembangan politik berikutnya, perlu mengadakan perombakan struktur politik secara radikal. Perombakan mana dimaksudkan untuk lebih memperkokoh cita-cita Orde Baru. Untuk menancapkan kaki Orde Baru agar semakin kokoh, maka pada bulan Maret 1968, MPRS mengadakan siding kelima dan mengukuhkan Jenderal Soeharto menjadi presiden penuh. Dan setelah itu dibentuklah Kabinet Pembentukan I yang dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto.
Sebagai sebuah partai yang banyak andil dalam usaha menciptakan Orde Baru, ternyata NU mengakhiri kharirnya dalam eksekutif dengan tidak mendapatkan bagian apa-apa dalam kabinet. Tetapi, sekedar menghibur hati, beberapa tokoh NU menanggapi kenyataan itu sebagai sesuatu yang tidak perlu. NU berjuang bukan untuk kedudukan, melainkan demi kepentingan Negara, bangsa dan agama. Dan perjuangan itu dilakukan dengan penuh ikhlas “lillahi ta’ala”. Tetapi kemunduran peranan NU ternyata kurang mampu menghadapi kenyataan yang timbul sesudahnya. Seperti dikemukakan Chalid Mawardi, dalam hal front massa, NU telah memberikan andil besar. Tetapi NU telah lengah di segi lain. Yaitu dalam hal front politik.
4)      Masa Orde Baru ( 1968-1973)
Pengakuan Jenderal Soeharto sebagai Presiden oleh MPRS dalam bulan Maret 1968, menurut Alfian, dapat dipergunakan sebagai ukuran bahwa kaki Orde Baru sudah tertanam kuat. Tetapi Jenderal Soeharto masihdihapkan pada persoalan penting tentang format politik macam apa yang harusditumbuhkan dan dikembangkan untuk membangu Indonesia kembali.
Di zaman “Demokrasi Liberal”, stabilitas politik tidak pernah terwujud. Penyebabnya, antara lain, karena sistem banyak partai tidak pernah berhasil membentuk  kabinet atau eksekutif yang kuat. Sedangkan di zamann “Demokrasi Terpimpin”  kekuasaan Presiden Soekarno sebagai kepala eksekutif sangat besar. Tetapi kekuasaan itu, ternyata, tidak dapat dipergunakan secara efektif dan baik. Sebab Presiden Soekarno tidak pernah berhasil melaksanakan ide penyederhanaan sistem kepartaian secara berarti, dan yang lebih penting, karena Soekarno tidak memiliki basis masa yang mampu menyangga kedudukannya.[[23]]
Semenjak itu, tingkah laku poltik Jenderal Soeharto menjurus kepada usaha-usaha menghilangkan kelemahan yang pernah terjadi di zaman Presiden Soekarno. Sehingga, pada masa itu pula, dibentuk kabinet atau eksekutif yang kuat, bersama dengan pengukuhan posisi militer dan Golongan Karya (GOLKAR) sebagai basis utama kekuatannya. Sejalan dengan itu, proses penyederhanaan partai berjalan secara sistematis. Dan inilah format baru yang ditumbuhkan di masa Orde Baru.
AH.Nasution mengemukakan, skala prioritas perjuangan Orde Baru adalah: (1)Membangun kembali ekonomi yang sudah parah akibat kesalahan pemerintah Orde Lama, terutama sandang pangan; (2) pengorbanan disegala bidang secara konsekuen, termasuk pembersih, penertiban mental Orde Lama.[[24]]
Atas prakarsa Subhan ZE (Ketua IV PBNU), dibentuklah Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP GESTAPU) yang kemudian menjadi Front Pancasila. Gerakan ini bertujuan menyelesaikan krisis politik yang terjadi di Indonesia dan mencapai puncaknya ketika fraksi NU dalam DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) mengajukan resolusi yang meminta dilaksanakan sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Resolusi ini kemudian menjadi usul resolusi DPRGR yang meminta kepada MPRS melakukan sidang istimewa pada Maret 1967. Krisis politikpun berakhir setelah diangkatnya Suharto menjadi pejabat Presiden RI. Peristiwa ini mengawali babak baru pemerintahan Indonesia yang kemudian dikenal dengan sebutan “Orde Baru”.
Pada tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru NU memegang peranan cukup besar. Akan tetapi dalam perkembangannya, NU mengalami anti klimaks dari seluruh prestasi politiknya. Sampai menjelang pemilu 1971, NU masih memiliki wakilnya di kabinet, tetapi ketika jabatan Menteri Agama beralih ke tangan Prof. Dr. A. Mukti Ali berakhirlah sejarah keikut sertaan NU dalam kabinet pemerintahan Orde Baru. Keterlibatan NU dibidang politik sesudah itu hanya pada sekitar parlemen (legislative), sehingga secara nasional peranannya semakin menyempit.
Pengalaman traumatic sebagai akibat pelaksanaan demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, mendatangkan badai kritik terhadap tatanan politik yang ada. Perombakan struktur politik menjadi suatu keniscayaan, sehingga dilakukan penyedrhanaan partai dan perubahan orientasi dalam pembangunan politik di Indonesia. Pada 5 Januari 1973 di deklarasikan berdirinya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari empat 94) partai Islam peserta pemilu 1971, yakni : NU, Parmusi, PSII dan Perti. Dari partai ini diharapkan muncul kesatuan langkah umat Islam dalam membawakan aspirasi politiknya.
Semula peranan NU dalam PPP cukup besar karena hampir seluruh personalia pusatnya dijabat oleh tokoh-tokoh NU seperti : KH. Bisri Syamsuri (Rais Am Majelis Syura), KH. Masykur (Ketua Majelis Pertimbangan Partai), dan KH. Idham Khalid (Presiden Partai). Akan tetapi sejak kepemimpinan J. Naro peranan NU semakin berkurang karena dominasi unsure-unsur di luar NU, terutama MI (Muslim Indonesia), yang menduduki jabatan-jabatan strategis dalam kepemimpinan partai.
Kondisi ini mempengaruhi timbulnya gagasan-gagasan yang mengambil tema “kembali kepada jiwa 1926”. Gagasan ini pertama kali muncul secara terbuka pada Muktamar XXV NU (20-25 Desember 1971) di Surabaya. Usaha mengembalikan keberadaan NU sebgai organisasi keagamaan (jamiyyah diniyah) semakin menunjukkan hasilnya pada Muktamar XXVI NU (5-11 Juli 1979) di Semarang. Akhirnya pada Muktamar XXVII NU (8-12 Desember 1984) di Situbondo, NU secara resmi melepaskan diri dari kegiatan politik praktis dan membebaskan warganya untuk memilih dan menyalurkan aspirasi politiknya kepada partai-partai politik peserta pemilihan umum. Sejak itu NU menapaki lembaran baru sejarahnya dengan kembali kepada jati dirinya sebagai organisasi social keagamaan (jamiyyah diniyah ijtimaiyah) yang lebih popular dengan kembali kepada “khitthah NU 1926”.
3.      Bidang Ekonomi
Bagi semua orang, berekonomi dalam pengertian berbuat untuk mendapat nafkah hidup adalah suatu kebutuhan mutlak. Bagi orang beragama, berekonomi adalah perintah Allah SWT dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ajaran dan hukum agama. Berekonomi adalah sarana mutlak untuk memelihara kelangsungan hidup dan di dalam hidup itulah orang dapat ibadah, berbuat sesuatu untuk kepentingan agama, bangsa dan Negara.
Berekonomi dalam Islam adalah sekedar memenuhi kebutuhan pokok bagi diri sendiri dan keluarga. Tetapi Islam tidak membiarkan pemeluknya hanya sekedar mampu memenuhi kebutuhan yang paling minim bagi diri dan keluarganya saja.
Islam mendorong secara tegas supaya para pemeluknya memiliki harta benda yang berlebih dari kebutuhan pokoknya, sehingga mampu melaksanakan kewajiban berzakat. Mampu berzakat berarti memiliki harta benda sedikitnya satu nisab. Orang baru terlepas dari kewajiban itu setelah ternyata tidak mampu, Islam tidak menyenangi kemiskinan, bahkan mengajarkan pemberantasan kemiskinan antara lain dengan kewajiban membayar zakat.
Nahdlatul Ulama tidak melupakan aspek ekonomi dalam program kerjanya yang permanen, karena seluruh warganya berekonomi dan dalam berekonomi itu harus ditaati dan diikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh agama.
Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama pasal 6 huruf d ditegaskan bahwa di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan. Dengan demikian jelas bahwa kesejahteraan umat merupakan masalah yang menjadi perhatian utama Nahdlatul Ulama dalam kiprahnya di bidang ekonomi.
Program berekonomi Nahdlatul Ulama dibatasi tidak lebih dari pokok-pokok ajaran agama dalam berekonomi, yaitu :
1)      Mendorong para anggotanya untuk meningkatkan kegiatannya berekonomi demi meningkatkan kemampuan ekonominya.
2)      Membimbing para anggotanya supaya dalam berekonomi selalu mentaati dan mengikuti hukum dan ajaran Islam.
Berangkat dari pokok-pokok di atas, maka Nahdlatul Ulama dapat mewujudkannya dengan cara :
1)      Membentuk koperasi tingkat bawah yang tumbuh dari kebutuhan nyata.
2)      Menciptakan jaringan-jaringan kerja ekonomi antara tingkat pedesaan dengan pedesaan, perkotaan dengan perkotaan dan pedesaan dengan perkotaan.
3)      Nahdlatul Ulama selalu mengajukan gagasan, ajakan dan pengawasan tentang penentuan skala prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Nahdlatul Ulama juga mengembangkan ekonomi melalui peran serta pesantren, karena terbukti sangat efektif. Letak pesantren yang pada umumnya di pedesaan memungkinkan lembaga ini memahami persoalan-persoalan desa, sehingga gagasan-gagasan pengembangan kesejahteraan yang datang dari luar dapat diserap dengan baik oleh masyarakat setelah diolah dan disampaikan oleh pesantren. Disamping itu Nahdlatul Ulama juga memiliki perangkat organisasi yang mendukung program ekonominya, seperti : lembaga perekonomian dan lembaga pengembangan pertanian.
4.      Bidang Pendidikan
Nahdlatul Ulama memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya merupakan komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan tanggung jawab dan harmonisasi.
Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan manusia dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa.
Gerakan pendidikan Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul Ulama sebagai organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul Ulama dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara pendidikan yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum diskusi yang disebut Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur.
Dalam mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama memandang perlunya proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah atau madrasah menjadi salah satu program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur non formal seperti pesantren.
Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan, Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang kegiatannya.
Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik.
Sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang dimaksud adalah :
1)      Visi
a)      Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains dan teknologi serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b)      Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap, terampil dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhlak karimah.
c)      Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang mandiri, kreatif dan inovatif dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat.
2)      Misi
a)      Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan menjadi idola masyarakat.
b)      Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai perekat komponen bangsa.
Selain sekolah atau madrasah, pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah pesantren. Dengan segala dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan sumbangan besar yang tidak ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa, menyuburkan tradisi keagamaan yang kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak karimah.
Pendidikan pesantren dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren memiliki kemandirian yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, mengembangkan ilmu (agama) maupun dalam mencetak ulama.Para lulusan pesantren tidak sedikit yang tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi kejuangan, keilmuan, kenegaraan maupun kepribadian.
Tradisi keilmuan dan keahlian dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut :
1.      Adanya tahapan-tahapan materi keilmuan.
2.      Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian.
3.      Adanya metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin, pola mandiri dan ekspresi).
4.      Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren.
Salah satu tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam pengembangan pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi yang menjadi ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Hanya dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti keberadaan dan kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan
B.     Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal  dengan Refleksi Reformasi.
 Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu:
1.      Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
2.      Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3.      Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.      Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
5.      Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
6.      TNI harus berdiri di atas semua golongan.
7.      Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu.
8.      Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :
1.      Menghimbau  kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
2.      Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan  sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
3.      Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
4.      Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang.
5.      Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6.      Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
7.      Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
8.      Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
C.    Menerapkan Ukhuwwah Nahdliyyah Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1.      Pengertian Ukhuwah Nahdliyah
Secara etimologi, ukhuwah nahdliyah berasal dari dua kata bahasa  Arab; ukhuwah yang artinya persaudaraan dan nahdliyah yang artinya perspektif kelompok NU. Sedangkan secara epistemology, ukhuwah nahdliyah adalah formulasi sikap persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain atau satu kelompok pada kelompok lain dalam interaksi social serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama, tradisi, dan sejarah bangsa yang menjunjung tinggi prinsip Ahlussunnah Waljama’ah.



2.      Ukhuwwah Nahdliyyah di Bidang Sosial- Politik
Spesifikasi kaum nahdliyin yang sangat menonjol adalah sikap kebersamaan yang tinggi dengan masyarakat di sekelilingnya. Kaum nahdliyin mampu menempatkan manusia pada kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. Sebagaimana firmannya sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
( الحجرات : 13)
Artinya : “ Wahai manusia sungguh kami ciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dab bersuku-suku supaya saling mengenal, sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal” (QS Alhujurat : 13)
Landasan lain dari ukhuwah nahdliyah adalah pendapat KH. Hasyim Asy’ari yang menegaskan bahwa persatuan, ikatan batin, tolong menolong, dan kesetiaan antar manusia dapat melahirkan kebahagiaan serta faktor penting bagi tumbuh kembangnya persaudaraan dan kasih sayang.
Timbulnya sikap ukhuwah dalam kehidupan masyarakat disebabkan adanya dua hal , yaitu :
a)        Adanya persamaan, baik dalam masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman, kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.
b)        Adanya kebutuhan, yang dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerja sama dan gotong royong serta persatuan.
Ukhuwah (persaudaraan atau persatuan) menuntut beberapa sikap dasar untuk memengaruhi kelangsungannya dalam realitas kehidupan sosial, sikap dasar tersebut adalah :
a)      Saling mengenal (Ta’aruf)
Ta’aruf adalah saling kenal mengenal yang tidak hanya bersifat fisik ataupun biodata ringkas belaka, tetapi lebih jauh lagi menyangkut latar belakang pendidikan, budaya, keagamaan, pemikiran, ide-ide, cita-cita serta problema kehidupan yang dihadapi.
b)      Saling menghargai (tasamuh)
Menurut bahasa tasamuh artinya toleransi atau tenggang rasa. Menurut istilah, tasamuh adalah perilaku tidak memaksakan kehendak dan kemauan diri sendiri kepada orang lain. Orang yang bersifat tasamuh akan menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya.
c)      Tolong menolong (ta’awun)
Hendaknya saling tolong-menolong dalam keadaan suka dan duka, senang atau tidak, mudah maupun susah. Rasul bersabda, "Muslim adalah saudara muslim, ia tidak mendhaliminya dan tidak menghinanya... tidak boleh seorang muslim bermusuhan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, di mana yang satu berpaling dari yang lain, dan yang lain juga berpaling darinya. Maka yang terbaik dari mereka adalah yang memulai mengucapkan salam." (HR. Imam Muslim).
d)     Saling mendukung (tadlamun)
Sesama ummat manusia harus selalu memiliki sikap saling mendukung di antara satu dengan yang lain.
e)      Saling menyayangi ( At tarahum)
Tarahum adalah saling memahami kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam kesalah pahaman dapat dihindari

Ukhuwah (persaudaraan atau persatuan) akan terganggu kelestariannya, apabila terjadi sikap-sikap destruktif (muhlikat) yang bertentangan dengan perilaku etika sosial (akhlaqul karimah) seperti :
a)        Saling menghina (Assakhriyah)
Memperolok-olokan baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan kata-kata maupun dengan bahasa isyarat karena hal ini dapat menimbulkan rasa sakit hati, kemarahan dan permusuhan.
b)        Saling mencela (allamzu)
Mencaci atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan, apalagi bila kalimat penghinaan itu bukan sesuatu yang benar.
c)        Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
Memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai. Kekurangan secara fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk memanggil orang lain dengan keadaan fisiknya itu.
d)       Berburuk sangka (suudhan)
Berburuk sangka merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad) yang akibatnya akan selalu buruk sangka apabila seseorang mendapatkan kemikmatan atau keberhasilan.
e)        Sikap curiga yang berlebihan (Tajassus)
Mencari-cari kesalahan orang lain untuk merendahkannya. Bukannya mencari kesalahn diri sendiri lebih baik agar kita bisan memperbaiki diri dari sebelumnya?Bergunjing dengan membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak menyukainya, apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang. Manakala kita mengetahui rahasia orang lain yang ia tidak suka apabila ada orang lain yang mengtahuinya, maka menjadi amanah bagi kita untuk tidak membicarakannya.
f)         Sikap congkak (Takabbur)
Takabur atau sombong adalah sikap membanggakan diri. Ia merasa dirinya lebih besar, lebih baik, lebih pandai, atau lebih kaya sehingga meremehkan orang lain. Takabur biasanya berawal dari rasa ujub (membanggakan diri). Orang yang ujub, lama kelamaan menjadi takabur. Orang yang takabur tidak saja membanggakan diri atas kesuksesannya, tetapi ia biasa merendahkan orang lain karena merasa dirinya yang paling sempurna.
Semua orang dipandang lebih kecil dan lebih hina. Padahal, orang hina itu belum tentu lebih jelek daripada yang menghina. Orang yang merendahkan orang lain belum tentu dirinya lebih mulia daripada orang lain yang direndahkan.

3.      Kendala dan Hambatan Dalam Pengembangan Wawasan Ukhuwah
Proses wawasan ukhuwah tersebut kerap kali mengalami hambatan-hambtan karena beberapa masalah yang timbul dari :
a)        Adanya kebanggaan kelompok yang berlebihan, fanatisme yang tidak terkontrol.
b)        Adanya kesempitan cakrawala berpikir, yang disebabkan oleh keterbatasan pemahaman masalah keagamaan (keIslaman)
c)        Lemahnya fungsi kepemimpinan umat dalam mengembangkan budaya ukhuwah



4.      Pandangan NU Dalam Melestarikan Ukhuwah
Dalam penerapan konsep dan wawasan ukhuwah dapat dilakukan berbagai cara dan melalui bermacam-macam lembaga dan sarana, antara lain :
a)      Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) seyogyanya dimulai dari lingkungan yang paling kecil (keluarga), kemudian dikembangkan yang lebih luas.
b)      Perlu adanya keteladanan yang baik dari para pemimpin
c)      Mengembangkan perluasan cakrawala berpfikir dalam masalah keagamaan maupun kemasyarakatan
d)     Terbentuknya lembaga-lembaga atau pranata-pranata yang dapat menumbuhkan kerukunan, persatuan dan solidaritas
e)      Mendayagunakan semua lembaga dan sarana baik yang disediakan pemerintah maupun swadaya masyarakat (ormas, pesantren, sekolah, kampus ) sebagai sarana pengembangan persaudaraan Islam dan persatuan Nasional.













BAB III
PENUTUP

I.            Kesimpulan
NU adalah sebuah organisasi Islam besar di Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan, politik, ekonomi dan pendidikan.
Sejak berdirinya Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang kegiatannya sebagai usaha untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan berdirinya, baik yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan, seperti peningkatan bidang keilmuan, peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana peribadatan dan pelayanan sosial serta peningkatan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat.
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, Nahdlatul Ulama senantiasa berusaha secara sadar untuk menciptakan warga negara yang menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara.
Nahdlatul Ulama secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang dan harus dilakukan secara bertanggung jawab.
Ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang ciderminkan rasa persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalah ijtimaiyah).
Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya timbul karena dua hal, yaitu : Adanya persamaan, dalam baik masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman, kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.
Sikap yang mempengaruhi Ukhuwah antara lain: saling mengenal (Ta’aruf), saling menghargai (tasamuh), tolong menolong (ta’awun), saling mendukung (tadlamun), saling menyayangi (tarahum).
Sikap yang dapat mengganggu Ukhuwah antara lain: saling menghina (Assakhriyah), saling mencela (allamzu), berburuk sangka (suudhan), suka mencemarkan nama baik (ghibah), sikap curiga yang berlebihan (Tajassus), sikap congkak (Takabbur)

    II.            Saran
Sebaiknya sebagai warga NU, kita harus terus mempertahankan eksistensi NU dari masa ke masa. Kita juga harus mengembalikan citra NU yang sudah mulai terkontaminasi dengan organisasi-organisasi kemasyarakat lainnya.






























Daftar Pustaka

Adnan, Haji Abdul Basit . 1980 . Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi . Sala : CV. Mayasari
Alfian . 1983 . Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia . Jakarta : Gramedia
Chalid, Idham . 1966 . MENDAYUNG DAN TAUFAN .Jakarta : Endang dan api Islam
Kansil, C.S.T. 1974 .  INTI PENGETAHUAN UMUM . Jakarta : Pradaya Paramita
Kartodirjo, Sartono. 1975 . SEJARAH NASIONAL INDONESIA, IV . Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Mahfoedz, Maksoem . 1982 . Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama. Surabaya : Yayasan Kesejahteraan Ummat
Nasution, AH. 1976 . KEMABALI KE UUD 1945 . Jakarta : naskah tidak diterbitkan
PB. Nahdlatul Ulama . 1960 . PERATURAN DASAR DAN PERATURAN RUMAH TANGGA PARTAI NU
RI, Departemen Penerangan . 1961 . ALMANAK LEMBAGA NEGARA DAN KEPARTAIAN . Jakarta : Percetakan Negara
RI. Panitia Pembina Jiwa Revolusi . 1965 . Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi . Jakarta : Grafica
Suripto .t.th.  BUNG KARNO HARI-HARI TERAKHIRNYA Surabaya : PT. Grip
Thahir, H. Anas et. al (ed) . 1980 . Kebangkitan Ummat Islam dan Peranan NU di Indonesia . Surabaya : PT. Bina Ilmu
Thoha, HM. As’ad . dkk. 2006 . Pendidikan Aswaja dan ke-NU-AN untuk Madrasah Aliyah SMA/SMK Kelas II . Surabaya : Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jawa Timur
Zuhri, Saifuddin.1981 . KALAIDOSKOP POLITIK III . Jakarta : Gunung Agung

http://makalahaswajaunisnu.blogspot.co.id/2016/07/peranan-nu-dari-masa-ke-masa.html




[[1]]  Maksoem Mahfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya, Yayasan Kesejahteraan Ummat, 1982), hal. 90-91
[[2]]Haji Abdul Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi, (Sala, CV. M ayasari, 1980), hal.18-19
[[3]] Ibid, hal 93
[[4]]  PB. Nahdlatul Ulama, PERATURAN DASAR DAN PERATURAN RUMAH TANGGA PARTAI NU, 1960
[[5]]  Maksoem Mahfoedz, op. cit. hal 159-161
[[6]]  Dr. KH. Idham Khalid, MENDAYUNG DAN TAUFAN , (Jakarta, Endang dan api Islam. 1966), hal. 134-135.
[[7]]   Saifuddin Zuhri. KALAIDOSKOP POLITIK III, (Jakarta, Gunung Agung, 1981), hal. 642
[[8]] Saifuddin Zuhri, op.cit. hal 645
[[9]] C.S.T. Kansil, INTI PENGETAHUAN UMUM (Jakarta, Pradaya Paramita, 1974), hal. 73
[[10]]  Saifuddin Zuhri, op.cit, hal. 642-643
[[11]] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 1983), hal. 34-35
[[12]]  Departemen Penerangan RI, ALMANAK LEMBAGA NEGARA DAN KEPARTAIAN, (Jakarta, Percetakan Negara 1961) hal. 351
[[13]] AH. Nasution, KEMABALI KE UUD 1945, (Jakarta, 17 Agustus 1976, naskah tidak diterbitkan), hal. 23-24
[[14]] Departemen Penerangan RI, op.cit.  Idham Chalid. Op.cit
[[15]] Departemen Penerangan RI, op.cit.  Idham Chalid. Op.cit
[[16]]  Idham Chalid. Op.cit. hal. 44
[[17]] Alfian, op.cit, hal. 40-42
[[18]] AH. Nasution, op.cit, hal. 25-27, dan Alfian, op.cit, hal. 43-44
[[19]] Suripto, BUNG KARNO HARI-HARI TERAKHIRNYA, (Surabaya, PT. Grip(t.th)), hal 11-12 dan AH. Nasution, op.cit, hal. 27
[[20]] Sartono Kartodirjo, SEJARAH NASIONAL INDONESIA, IV (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hal. 107
[[21]] Idham Chalid, op.cit. hal. 81
[[22]]  H. Anas Thahir, et. al (ed), Kebangkitan Ummat Islam dan Peranan NU di Indonesia, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1980), hal. 135
[[23]]  Alfian, op.cit, hal. 47-48
[[24]]  AH. Nasution, Sejarah Kembali ke UUD 1945, Op.cit, hal. 38

Komentar

Postingan populer dari blog ini

tafkhim dan Tarqiq

Makalah KOMPONENE-KOMPONEN HADITS

MAKALAH HEREDITAS dan LINGKUNGAN