MATERI PRESENTASI KELOMPOK 5
Faham Asy’ariyah dan Maturidiyah

TAHUN 2017



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang 
Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya berbagai golongan dengan segala pemikirannya
Antara golongan-golongan tersebut memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran agama Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, ada pula yang menetapkan akal dengan berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada pula yang menamakan dirinya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah. 
Sebagai reaksi terhadap firqoh-firqoh yang sesat, maka pada akhir abad ke-3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlusunnah wal jama’ah. Golongan ini dipimpin oleh dua ulama besar yaitu, Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari sebagai pendiri aliran Asy’ariyah dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah.
B.     Rumusan Masalah 
1.       Bagaimana sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah? 
2.      Apa saja yang menjadi doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah?
3.      Apa saja sekte-sekte aliran Maturidiyah? 
4.      Bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah? 
C.     Tujuan Masalah 
1.      Mengetahui sejarah berdirinya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. 
2.      memahami doktrin-doktrin teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah.
3.      Mengetahui sekte-sekte aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. 
4.      Mengetahui bagaimana pengaruh aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. 




PEMBAHASAN

A.     ASY’ARIYAH
1.      Latar Belakang Kemunculan Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah aliran yang berasal dari nama seorang yang berperan penting, yakni pendirinya aliran  Asy’ariyah yaitu Hasan Ali bin Ismail al Asy’ari keturunan dari Abu Musa al Asy’ary. Menurut bebrapa riwayat, al Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Setelah berusia 40 tahun beliau hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324H/935M.
 Menurut Ibn ‘Asakir, ayah al-asy’ari adalah seorang yang berpaham ahlusunnah dan ahli hadis. Sebelum belia wafat, beliau berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakarian bin Yahya As-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Oleh sebab itu aliran ini dinisbahkan dari nama pendirinya atau pelopornya yaitu Hasan Ali bin Ismail al Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’i.
Setelah pernikahan ibunya bersama seorang tokoh Mu,tazilah. Ayah tirinya al-Asy’ari kemudian mendidiknya hingga beliau menjadi seorang tokoh Mu,tazilah. Beliau sering menggantikan ayah tirinya dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu,tazilah. Selain  berguru kepada ayah tirinya, beliau juga berguru kepada ulama lain tentang hadist, fiqh, tafsir, dan bahasa seperti kepada Al-Saji, Abu Khalifah al Jumhi, Sahal ibn Nuh, Muhammad Ya’kub, Abdur Rahman ibn Khilafah dan lain-lain. Demikian juga beliau belajar fiqh Syafi’I kepada seseorang ahli fiqh yaitu Abu Ishaqal Maruzi seorang tokoh Mu,tazilah di bashrah.[1]
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai berusia 40 tahun.Setelah itu, secara tiba-tiba beliau mengumumkan dihadapan jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya.Pada hari jum’at beliau naik ke mimbar masjid Bashrah dan menyatakan secara resmi keluar dari aliran Mu’tazilah dengan pidato” Wahai sekalian manusia, barang siapa mengenalku sungguh dia telah mengenalku.Barang siapa mengenalku maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, bahwa perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak faham-faham Mu’tazilah dan keluar daripadanya.”Para ahli sepakat al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah tepat pada bulan Ramadhan tahun 280H/912 atau 300H/915.
            Imam Abu Hasan Al Asy’ari setelah keluar merumuskan ajaran-ajarannya kembali berdasarkan manhaj salafuh saleh, dengan mendasarkan kepada nash Al-qur’an dan Hadist, tetapi menerangkan dengan menggunakan metode scholatis yang rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata rumusan-rumusan ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat islam.
Ada dua faktor yang menjadi penyebab keluarnya Asy’ari dari aliran Mu’tazilah. Pertama faktor subyektif, yaitu pengakuan Al- Asy’ari  telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, malam ke-20, malam ke-30 bulan Ramadhan.Dalam tiga mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
            Kedua faktor obyektif ialah beliau menemukan adanya beberapa pandangan yang kontroversial dalam aliran Mu’tazilah. Salah satunya adalah dialog Asy’ari dengan al-Juba’i yang berakhir dengan ketidakpuasan imam Asy’ari karena al-Juba’i tidak bisa menjawab pertanyaan yang beliau utarakan. Salah satu diaolog itu adalah mengenai kedudukan seorang mukmin, kafir dan anak kecil
Disamping itu Asy’ari melihat adanya perpecahan dikalangan kaum muslimin yang dapat melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Dan ia sangat khawatir, kalau Al-qur’an dan hadist-hadist nabi menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya itu tidak dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran
2.      Doktrin-Doktrin Asy’ariyah
       Adapun pemikiran atau doktrin-doktrin dari aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut :[2]
a.     Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Mengesahkan Allah adalah wajib, namun perbedaan pendapat tentang sifat-sifat Allah tidak dapat dihindarkan.Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu imam Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat.Menurut beliau, mustahil tuhan mengetahui dengan dzat-Nya karena dengan demikian dzat-Nya adalah pengetahuan dan tuhan sendiri adalah pengetahuan.
Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim).Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah dzat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain, seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat Al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat-sifat tuhan itu bukan sesuatu yang lain yang berada diluar dzat Tuhan, melainkan sesuatu yang inheran ada dalam zat.
b.      Kebebasan dalam berkehendak (free-will)
          Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya.Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah diantara dua pendapat yang eksterem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pra-determinisme semata-mata.Dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.
Aliran Asy’ariyah memandang manusia itu lemah.Dalam hal ini kaum Asy’ariyah lebih dekat kepada paham jabariah daripada paham Mu’tazilah.Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, imam Asy’ari memakai kata al-kasb(perolehan).
           Imam Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb.Menurutnya Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan (muktasib).Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu termasuk keinginan manusia.Arti iktisab menurut imam Asy’ari adalah sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul
c.     Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
            Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi peersoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif  dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
d.      Qadimnya Al-Qur’an
          Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an diciptakan (makhluk), dan tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al- Qur’an adalah kalam Allah (yang qadimnya tidak diciptakan).Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi al-Qur’an adalah qadim
e.       Melihat Allah
         Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dengan mempercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy.Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengikari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat.
f.       Keadilan
       Pada dasarnya Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Menurutnya Asy’ari keadilah adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenaranya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.
       Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya dalama kerajaan-Nya. Ketidakadilan berarti sebaliknya, yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang lain. Beliau berpendapat bahwa Tuhan tidak berbuat salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dank arena di atas Tuhan tidak ada hukum dan undang-undang yang berlaku maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.Dengan demikian Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil.
Sehingga pada dasarnya Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Tuhan berbuat adil sehingga ia hanrus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurut Asy’ari bahwa Allah tidak memiliki keharusan apa pun karena ia adalah penguasa mutlak.
g.      Kedudukan orang yang berdosa besar
Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman dengan demikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidaj musuh.Hal serupa ini tidak mungkin, oleh karena itu pula mungkin bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan pula kafir.
3.      Pengaruh Aliran Asy’ariyah
   Apabila kita memperhatikan tokoh-tokoh Asy’ariyah yang dalam perkembangannya diidentikkan dengan Ahlusunnah wal jama’ah, maka dapat dikatakan bahwasannya pengaruh ajaran Ahlussunnah wal jama’ah tidak terlepas
dari beberapa hal: [3]
a.       Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu, ia adalah seorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka. 
b.       Tokoh-tokoh Asy’ariyah tidak hanya ahli dalam bidang memberikan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini

4.      Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariyah
a.       Al Baqillani (wafat 403 H)
Menurut penuturan Ibn Khalkan, nama lengkapnya adalah Al-Qadli Abu Bakar Ibn Thayyib Ibn Muhammad Ibn Ja'far Ibn Qasim, tetapi ia lebih popular dengan nama al-Baqillani. Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti. Tapi Ibnu Khalkan hanya berani memberikan informasi bahwa masa awalnya  dibesarkan di Bashrah. Yang dapat diketahui secara pasti beliau meninggal di Baghdad tahun 403 H / 1013 M.
Otorita intelektualnya diperoleh dari dua orang murid utama al-Asy'ari, yakni Abdillah Ibn Mujahid serta Hasan al-Bahili.Al-Baqillani dikenal sebagai pakar ilmu kalam, An-Nadlar, serta ilmu Ushul.Ketiga ilmu tersebut diperoleh dari Ibn Mujahid. Menurut Ibn Asakir, ketiga ilmu tersebut juga diperdalam bersama-sama  Ibnu  Furak  dan al-Asfaraini.  Apabila Asfaraini lebih banyak mendekati Al-Bahili, maka al-Baqillani dan Ibn Furak lebih banyak mendekati Mujahid. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,
b.       Ibnu Faurak (wafat 406 H)
Al Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Hasan bin Furak al Ashbihani al-Syafi’I, pakar fiqih mazhab al-Syafi’I, ushul fiqih, teologi, sastra, gramatika dan lain-lain. Tidak ada data yang menjelaskan ia pernah tinggal di Irak untuk belajar al-Syafi’I dan teologi mazhab al-Asy’ari kepada al Bahili, murid al-Asy’ari.
Selain pakar dalam bidang teologi Ibn Furak juga pakar dalam bidang ilmu hadist.Beberapa ahli hadist terkemuka seperti al-Hakim, al-Baihaqi, dan lain-lain telah belajar hadist kepadanya.Ibn Furak termasuk ulama yang sangat produktif dengan menulis, sekitar seratus karangan dalam berbagai studi seperti ushul fiqih, hadist, teologi, fiqih dan lain-lain.Diantarakaryanya adalahMusykil al-Hadist, Musykil al-Atsar, Tafsir al-Qur’an, Syarh Awa’il al Adillah, Thabaqat al Mutakallimin dan lain-lain
c.       Ibnu Ishak al Isfaraini (wafat 418 H)
Al Imam Ruknuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim bin Mihran al-Asfarayini, ulama terkemuka dalam bidang teologi, ushul fiqih, dan fiqih ynag diakui mencapai derajat mujtahid pada masanya dan memiliki banyak karya yang menabjukan. Selain itu beliau juga seorang muhaddist yang dipercaya.
Abu Ishaq al-Asfarayini sangat dihormati oleh para ulama hal itu disamping karena faktor ketinggian ilmunya juga karena ketekunannya dalam beribadah.Al Hafizh Abdul Ghafir al Farisi mengatakan, al-Ustadz Abu Ishaq merupakan ulama yang menjadi kebanggaan negeri-negeri didaerah timur terutama Khurasan dan sekitarnya.
Dia seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Abu Iahaq wafat tahun 418 H / 1027 M, dan meninggalkan beberapa karya yang penting antara lain al-Jami’ fi Ushul al-Din wa al-Radd ‘ala al-Mulhidin, Masail al-Daur, al-Ta’liqah fi Ushul al-Fiqh dan lain-lain.
d.      Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
Abu Mashur Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Tamimi al-Baghdadi, ulama terkemuka pada masanya dalam bidang fiqh, ushul fiqih, teologi, faraidh,hisab dan lain-lain. Selain kharismatik Abu Mashur al-Baghdadi juga terkenal sangat berwibawa.Karya-karyanya banyak menjadi komsumsi kaum pelajar, karena susunan bahasanya yang bagus, pemaparannya yang lugas dan metedologinya yang sistematis.
e.       Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
Nama lengkapnya adalah Badul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayawi. Dilahirkan pada tanggal 18 Muharram tahun 419 H. bertepatan dengan tanggal 12 Pebruari 1028 M. di Bustanikan, sebuah desa dekat Naisabur.
Beliau meniggal dunia pada usia 59 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Rabi'ul Akhir 478 H., di kota kelahirannya. Ia dikenal dengan panggilan Abul Ma'ali yang menunjukkan pengakuan umat atas kepakarannya, keagamaan, serta ketokohannya di tengah-tengah masyarakat luas.[4]
B. FAHAM AL  MATURIDIYAH
1.      Latar Belakang Kemunculan Al Maturidiyyah
Aliran al-Maturidiyah ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah. Keduanya dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis dimana yang berada dibarisan paling depan adalah Mu’iazilah, maupun kaum tekstualitas yang dipelopori oleh kaum Hanbaliyah (para pengikut Imam Ibnu Hanbal). Keduanya herbeda pendapat hanya dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas. Aliran al-Maturidiyah berdiri atas prakarsa al-Maturidi pada tahun pertama abad ke-4 H di wilayah Samarkand.
Pada awalnya antara kedua aliran ini dipisahkan oleh jarak. aliran Asy’ariyah berkembang di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas sampai ke Mesir sedangkan aliran al-Maturidiyah berkembang di Samarkand dan di daerah-daerah seberang sungai (Oxus). Kedua aliaran mi bisa hidup dalam aliran yang kompleks dan memhentuk suatu mazhab. Nampak jelas hahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah fiqih kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dansurvive. Orang-orang Hanafiah (pengikut imam Hanafi membentengi aliran-aliran Maturidiyah dan mereka kaitkan akarnya sampai pada imam Abu Hanifah sendiri. Teolog yang juga bermazhab Hanafiyah seperti Maturidi adalah Abu Ja’far al-Tahawi di Mesir. Dia adalah seorang ulama besar dibidang hadis dan fiqih yang teiah mengembangkan dogma-dogma teologi yang lebih besar. Lebih dari satu abad, mazhab Asy’ariyah tetap populer hanya diantara pengikut Syafi‘iyah sementara mazhab Maturidiyah dan begitu juga Tahawiyah terbatas penganutnya diantara pengikut Hanafi.[5]
2.       Doktrin-doktrin  Al Maturidiyyah
a.       Sifat Tuhan
                        Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy’ari dan al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan karena dzatnya, tetapi dengan pengetahuannya, dan berkuasa bukan dengan dzatnya.
b.      Kewajiban mengetahui Tuhan
                        Menurut Al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat al-Qur’an untuk menyelidiki (memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah.
c.       Perbuatan Manusia
                        Dalam perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
d.      Kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal
                        Al-Maturidi mengakui adanya keburukan obyektif (yang terdapat pada sesuatu perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian suatu perbuatan. Mereka membagi perbuatan-perbuatan kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian yang tidak dapat diketahui keburukannya dengan akal semata-mata, dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan melalui syara’.
e.       Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan
                        Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-ciptaan-Nya maupun dalam perintah dan larangan-larangan-Nya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Tuhan, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradah-Nya.
f.       Pelaku dosa besar
Mengenai pelaku dosa besar al-Maturidi sepaham dengan Asy’ariyah yaitu: bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak posisi menengah kaum Mu’tazilah.
g.       Melihat Tuhan
                        Al-Maturidi mengatakan bahwa, manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini diberitakan oleh al-Qur’an, yaitu firman Allah surat al-Qiyamah: 22-23
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَا ضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَا ظِرَةٌ
” Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)
h.      Kalam Tuhan
                        Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi  tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.
i.         Pengutusan Rasul
                        Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
                        Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[6]
3.      Sekte-Sekte Maturidiyah
a.       Golongan Bukhara
                 Yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi dalam aliran Maturidiahnya. Walaupun sebagai pengikut aliran Maturidiyah, al-Bazdawi selalu sepaham dengan al-Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.
b.      Golongan Samarakand
                 Yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri. Pahamnya lebih dekat kepada Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, al-Maturidi sepakat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi dan al-Asy’ari memiliki persamaan pandangan, menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan megetahui bukan dengan dzatnya, melainkan dengan pengetahuannya. 
4.      Profil Tokoh-Tokoh Faham Maturidiyah
     Al-Maturidiyyah adalah merujuk kepada sekumpulan pengikut yang menuruti pemikiran al-Maturidi. Kebanyakan ulama al-Maturidiyyah pula terdiri daripada para pengikut aliran fiqh al-Hanafiyyah. Ini kerana pada umumnya, aliran pemikiran al-Maturidiyyah berkembang di kawasan aliran al-Hanafiyyah. Bagaimanapun, mereka tidaklah sekuat para pengikut aliran al-Asyariyyah.
Di antara mereka ialah:
a.       Abu al-Qasim Ishaq bin Muhammad al-Hakim al-Samarqandi
          Abd al-Hakim al-Samarqandi menulis buku yang berjudul al-Sawad al-A’zam yang dianggap sebagai karya tertua di bidang teologi dari aliran Maturidiyah. Tulisannya yang lain adalah: Aqidah al-Imam dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Sedangkan Abu al-Hasan Ali ibn Said al-Rastafgani menulis: Kitab al-Irsyad al-Muhtadiy, Kitab al-Zawaid wa al-Fawaid fiy Anwa al-Ulum, Kitab al-Khilaf dan Asilah wa Ajwibah. Namun, tulisan yang lebih lengkap tentang pemikiran teologi al-Maturidi baru dilakukan setelah abad ke-5/11 oleh Fakhr al-Islam Ali ibn Muhammad ibn Abd al-Karim al-Bazdawiy.
b.      Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi
          Salah seorang tokoh Maturidiyah yang hidup pada abad ke-5/11 adalah Abu al-Yusr Muhammad ibn Muhammad ibn Abd al-Karim al-Bazdawiy, lahir pada tahun 421 H dan wafat di Bukhara tahun 493/1099. Beliau menerima pendidikan dari ayahnya, kakeknya sendiri adalah murid dari al-Maturidi.
c.        Abu Hafs Umar bin Muhammad al Nasafi
          Muhammad al-Nasafi, lahir di Nasaf tahun 460/1068 dan wafat di Samarqand tahun 537/1142. Beliau termasuk ulama besar pada masanya, tulisannya yang terkenal adalah al-Aqaid al-Nasafiyah yang dari segi metode dan materinya sangat jelas dipengaruhi oleh pemikiran al-Maturidi. Buku ini bukan hanya menarik bagi para tokoh Maturidiyah tetapi juga tokoh-tokoh Asyariyah, al-Taftazani misalnya, menulis sebuah komentar atas buku tersebut.[7]
5.      Dampak Positif dan Negatif Faham Maturidiyah
a.       Dampak Positif Maturidiyah
        Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat adalah tergantung apa yang dilakukannya di dunia.
        Jika pelaku dosa besar meninggal sebelum bertaubat, maka semuanya diserahkan kepada Allah SWT, jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, maka akan dimasukkan ke dalam neraka, tapi tak kekal di dalamnya.
b.      Dampak Negatif Maturidiyah
        Dimana iman sebagai suatu kepercayaan dalam hati, sedangkan pernyataan lisan dan amal perbuatan hanya sebagai pelengkap saja.
6.       Pengaruh Aliran Maturidiyah
Terhadap perkembangan dunia Islam, aliran Maturidiyah ini telah meninggalkan pengaruh yang sangat besar. Hal ini dapat kita pahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli. 
Di samping itu, aliran ini juga berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, mengantarkan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama kalam, namun masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.
Keistimewaan lainnya yang juga dimiliki Maturidiyah bahwa pengikutnya dalam perselisihan atau perdebatan tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.[8]





PENUTUP

A.    Kesimpulan
Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M). Mulanya al-Asy’ari berpaham Mu’tazilah, karena merasa tidak cocok dengan Mu’tazilah akhirnya ia condong kepada ahli fiqh dan hadits. 
Dokrin-doktrin teologi al-Asy’ari yaitu menyangkut Tuhan dan sifat-sifatnya, perbuatan manusia, pelaku dosa besar, keadilan Tuhan, akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk dan juga tentang melihat Tuhan di akhirat. 
Keahlian dalam berdebat al-Asy’ari dengan basis keilmuan yang dalam, shaleh, taqwa dan melahirkan karya-karya ilmiyah yang menjadi referensi hingga saat ini, merupakan pengaruh dari aliran Asy’ariyah. 
Sedangkan Maturidiyah didirikan oleh al-Maturidi, nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H dan wafat pada tahun 333 H. 
Doktrin teologi Maturidiyah antara lain tentang sifat Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, perbuatan manusia, kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal, hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan, pelaku dosa besar dan melihat Tuhan. 
Sekte-sekte Maturidiyah, pertama golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri. Golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi. 
Al-Maturidi mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli, berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, dan dalam perselisihan atau perdebatan aliran Maturidiyah tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah
B.     Saran
Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. 




DAFTAR PUSTAKA



Rosihon Anwar Rozaq, Ilmu Kalam Edisi Revisi, Bandung, 2012
Sarkowi, Teologi Islam Klasik: Mengurai  Akar Pemikiran Aliran-Aliran Teologi Islam Klasik,Resist Literacy, Malang, 2010


http://auliyahamdi.blogspot.com/2013/01/makalah-al-maturidiya_-6.html?m=1. Diakses pada tanggal 17/12/2017 pukul 20.00 WIB




[1] Sarkowi, Teologi Islam Klasik: Mengurai  Akar Pemikiran Aliran-Aliran Teologi Islam Klasik,Resist Literacy, Malang, 2010, hlm. 71.
[2] Abdul Rozaq, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, Bandung, 2012, hlm.148.

[3] http://alimpolos.blogspot.com/2015/09/aliran-asyariyah-dan-maturidiyah.html
[4] http://alimpolos.blogspot.com/2015/09/aliran-asyariyah-dan-maturidiyah.html
[5] LopCit, Abdul Rozaq. Hlm: 156
[6] http://alimpolos.blogspot.co.id/2015/09/aliran-asyariyah-dan-maturidiyah.html
[7] LopCit, Abdul Rozaq. Hlm: 158

Komentar

Postingan populer dari blog ini

tafkhim dan Tarqiq

Makalah KOMPONENE-KOMPONEN HADITS

MAKALAH HEREDITAS dan LINGKUNGAN